Tuesday, May 28, 2013

Langit Inggris(mu) Sore Ini

Posting on Rosania Rossa di Tuesday, May 28, 2013 0 komentar
Aku menangis, Cla. Semburat oranye langit sore ini membuatku menangis. Entah kau melihatnya atau tidak. Kukira langit di sini dan langit di tempatmu sama saja. Atau langit di tempatmu sudah bosan berwarna biru dan lebih memilih bertahan dengan hitam ?
            Aku tidak peduli. Aku masih ingin bercakap denganmu karena kulihat kau sama sekali tak kedatangan seorang tamu. Waktu itu, aku ingin kau segera pulang. Tapi sekarang, kuharap kau bertahan di sana dengan langit hitam milikmu karena dengan begitu aku bisa mengajakmu bicara tanpa ada yang mendengarnya.
            Suaramu sekarang masih terdengar sama dengan suaramu tahun lalu. Tapi agak sedikit parau. Aku ingin mengusap wajahmu jika saja kau tak tertidur. Membangunkanmu sama halnya dengan membuyarkan mimpimu tentang aku. Dan aku masih seperti kemarin. Duduk di sampingmu, bercerita, tersenyum, menangis, dan akhirnya tertidur.
            -- Bagaimana kabar mama ?
            Kau bertanya seperti itu dalam mimpiku. Kenapa kau tak menanyakan tentangku. Selama ini aku tak pernah baik-baik saja.
            -- Tidak begitu baik
            Begitu jawabku padamu yang dalam mimpiku kau terlihat lebih cantik. Aku tak hendak berbohong padamu karena aku tahu kalau pertanyaanmu dalam mimpi itu hanya sekedar basa-basi. Tentu dari tempatmu semua akan terlihat. Setiap hari kau pasti melihat mama. Tapi kenapa kau menanyakan tentang mama padaku ? Aku juga ingin kau bertanya tentang aku, Cla. Sebelum aku terbangun. Apa karena kau tahu bahwa aku juga tidak baik-baik saja dan kau takut kalau aku akan memintamu untuk memberi perhatian padaku.
            -- Apa kau juga sudah menyampaikan salamku pada sejumlah penduduk yang ada di negaramu sekarang? Tanyaku
            -- Maaf, aku lupa dengan permintaanmu waktu itu.
            -- Tidak apa.
            Ingin kusudahi saja mimpiku hari ini, Cla. Kau tidak begitu merindukanku. Dan aku akan datang lagi jika kau telah berhasil merindukanku.
            -- Selamat jalan, Dane. Semoga esok kau datang bersama putriku, Key.
            Entah kenapa aku hanya bisa mengangguk setiap mendengar pertanyaanmu. Key tengah belajar biola sepertimu. Di tamanmu dan duduk di kursimu. Harusnya aku yang tak begitu merindukanmu, karena Key seperti dirimu. Apa di negerimu ada laki-laki seperti aku yang menikahi wanita yang tak mencintainya? Dan tak pernah sakit hati ketika putrinya hanya jadi putrimu?
            Aku pun beranjak dan berpamitan padamu. Di Inggris tempatku akan datang musim dingin yang juga akan mengirimkan banyak salju untukku dan Key. Kuharap kau pun melihatnya dari sana. Selama itu aku tidak akan keluar rumah sampai akhirnya aku ingin bercakap denganmu lagi. Dengan begitu kuharap kau akan menanyakanku.
            Mama hari ini mengajak Key pergi. Tak ada alasan untuk tidak mengizinkan mama membawa Key karena selama ini beliau juga berpikir kalau Key adalah putrimu dan belum pernah menjadi putri kita. Apa aku salah? Kalau belakangan aku tahu mama mengajak Key ke tempat mantan kekasihmu dulu. Aku tidak salah kan? Kalau memang kau tidak begitu merindukanku.
            Di sini, di Inggris tempatku, aku selalu menangis jika teringat tentangmu yang sangat aku cintai. Apa di sana, di Inggris tempatmu, kau juga selalu menangis jika teringat tentangku ? Yang kulihat selama kau ada di Inggris tempatku, kau hanya menangis untuk tiga manusia saja. Key, mama, dan mantan kekasihmu itu. Lalu kapan kau akan menangis untukku ? Apa jika kau telah berhasil merindukanmu ? Kau tak pernah menjawab semua pertanyaanku tadi karena kau telah pulang kembali ke Inggris tempatmu. Dan entah kapan akan singgah kembali di Inggris tempatku. Mungkin saat Key telah berhasil memanggilmu mama.
            Apa itu penting? Kurasa tidak. Kau tidak harus pulang ke Inggris tempatku untuk mengajari Keysya agar memanggilku ayah. Aku ingat, kau bahkan tak mengizinkan Key menatapku dalam-dalam karena kau takut ia akan menemukan kesamaan antara dirinya dan aku. Ya, mata Key itu milikku. Tapi kau sendiri tak pernah mengatakan pada putrimu kalau matanya adalah milikku. Kau selalu mengajaknya pergi ke setiap sudut kota untuk memberitahunya kalau ada banyak hal yang bisa dilihat daripada harus memandang mataku. Meskipun akhirnya Key tetap memilih menghabiskan waktu denganku. Menyusun puzzle dan memberi makan kelinci putihnya. Kau tahu, kelinci itu hadiah dariku.
            Pada akhirnya aku tidak sanggup untuk tidak mengunjungimu selama musim dingin di Inggris tempatku. Semoga di Inggris tempatmu tidak sedang musim dingin sehingga kau tidak akan keberatan menerima tamu. Hari ini sepulang dari kantor, aku akan mengunjungimu bersama Key. Aku harus membujuknya terlebih dahulu agar ia mau kuajak ke tempatmu. Kau tahu, sulit sekali membujuk putrimu. Selama ini aku tidak pernah membujuknya karena ia akan mengangguk sepanjang aku berkata manis padanya. Ini lain. Aku tidak tahu apakah Key takut untuk melihat nisan ibunya sendiri. Tapi, aku berhasil membujuknya. Itu tidak cuma-cuma. Kau harus membalas kebaikanku dengan cara  belajar untuk merindukanku.
            Kami sampai. Ucapkanlah selamat datang pada kami. Aku akan ajak Key mendekat padamu agar kau bisa bicara dengannya. Kau lihat, Key menurut padaku. Mungkin itu karena ia juga rindu padamu. Kubiarkan Key tertidur di atas pangkuanku. Aku pun tak bisa menahan kantuk yang dikirim oleh semilir angin yang diciptakan oleh pohon-pohon kamboja yang mengelilingi rumahmu, tepatnya Inggris tempatmu.
            -- Key, Key datang untuk menjenguk mama ?
            Aku belum mendengar jawaban Key. Mungkin ia belum terbiasa berdiskusi denganmu. Biarkan aku mengajarinya untuk berdialog denganmu.
            -- Key sayang, itu mama. Key tidak boleh takut.
            Ia masih diam.
            -- Apa boleh Key memanggilku ayah di depanmu ?
            Kau sudah mengangguk. Jadi jangan tunjukkan rasa kecewamu kalau nanti Key akan lebih banyak menyebut kata ayah daripada mama.
            -- Key, biar ayah ajari kau.
            Aku mengulurkan tangannya padamu. Cepat raihlah sebelum Key menangis.
            -- Key, ini mama. Key tidak merindukan mama ?
            -- Key rindu. Tapi ada ayah,,,
            -- Key tidak boleh tidak rindu sama mama karena mama selalu merindukan Key meskipun ada Zidane.
            -- Meskipun ada ayah ?
            Kenapa kau diam. Apa keinginanmu masih seperti dulu. Menjadikan Key hanya sebagai putrimu ? Aku tak bisa menyalahkan Key kalau ia terbangun begitu cepat dari mimpinya dan meninggalkan kita berdua di Inggris tempatmu.
            -- Apa kau pantas menyebutku dengan namaku di depan Key ?
            -- Maaf, Dane. Aku hanya tidak terbiasa.
            -- Mungkin sekarang sudah waktunya untukmu membiasakan diri menganggapku ayah dari putri kita.
            Kau diam. Dan kediamanmu kali ini tak cukup kuat untuk menghentikanku pamit meninggalkan Inggris tempatmu. Key yang sudah terjaga dari tadi mengajakku untuk pulang meskipun karangan bunga untukmu belum kuberikan. Dan kukira itu tertinggal di kereta.
            Aku pulang. Tapi tidak lama lagi aku akan bertamu ke tempatmu. Lain kali akan kuajak mama. Aku tak pernah bisa menang atas kau. Tapi apa kau tahu, satu hal yang tak mungkin kau menang dariku. Inggris tempatku lebih besar dan lebih luas dari Inggris tempatmu yang hanya 1x2 meter saja.

EPISODE KEDUA

Posting on Rosania Rossa di Tuesday, May 28, 2013 0 komentar

Matahari sudah lelah berbincang dengan angin, karena semakin lama angin semakin bernafsu untuk berdiskusi, menjadi kencang dengan sendirinya, mengaburkan sinar yang sekuat tenaga dipertahankan sang mentari agar masih bisa menunjukkan Teo jalan pulang. Awan-awan yang dari dulu hanya menjadi background langit itu lebih memihak angin untuk tidak berteman dengan bangsa manusia. Ia menghitam.
 Teo berhenti sejenak. Dibuangnya nafas berat untuk kesekian kali. Dihadapannya melintang sebuah kaca besar. Ia pun melepaskan kacamata minusnya. Diusapnya debu yang menempel di sana dengan kain khusus yang selalu diletakkannya di saku baju. Tapi sekian lama ia berhenti dan berdiri di sana, aku melihat ia tidak tertarik untuk memandang sosok dirinya di dalam kaca. Mungkin akan ada ketakutan saat ia sadar kalau ia masih juga hidup. Yang kulihat hanya roman wajah Teo yang terlihat lebih tua dari umurnya, juga kacamatanya itu, seakan menggambarkan kalau ia sudah sangat penat menghabiskan usia. Kaca itu memberiku gambaran kalau sebenarnya Teo tidak ingin meneruskan menuruni tangga-tangga itu. Ia tidak ingin segera pulang. Ia ingin kembali ke lantai atas. Kembali ke singgasananya sambil memandang kesemrawutan kota kecilnya. Duduk di tempat paling pojok di ruang kelasnya. Menurutku ia merasa akan segera gila kalau selalu teringat bahwa satu episode yang diberikan Tuhan padanya tidaklah menyenangkan. Tapi di luar itu persisnya aku tidak tahu. Aku tidak pernah bisa membaca pikiran Teo. Selama ini aku hanya mengawasinya dari tempatku dan ceritakan ini pada kalian. Dan kini aku akan biarkan Teo berkisah sendiri. Tentang sebuah episode dalam hidupnya.

Aku membetulkan letak kacamataku dengan telunjuk mengarah ke atas. Situasi ini butuh perubahan. Tapi bagaimana aku mengubah Ito, aku sendiri tidak pernah tahu.
Akhirnya kuketuk juga daun pintu rumah Ito setelah lama berdialog dengan hatiku sendiri. Kuputuskan bicara padanya untuk kesekian kali. Lebih tepatnya mencoba meminta maaf. Dan kuputuskan juga untuk menerima kebisuan Ito padaku seperti yang selalu kudapatkan sebelumnya.
Tapi kali ini juga seperti kemarin dan kemarinnya lagi, hanya wajah keriput ayah Ito yang menyambutku. Meski raut wajahnya terlihat sarat dengan beban hidup tetapi bagiku bisa memandang wajahnya sangatlah membahagiakan. Paling tidak ada seorang penghuni rumah itu yang mau menyambutku dan mengizinkanku menapaki lantai tanah di dalamnya.
                “ Pakdhe, bagaimana kabar Ito ?,”
            Lelaki setengah baya di hadapanku itu kini semakin menunjukkan kerutan di dahinya. Mungkin ia memikirkan alasan kenapa aku tidak pernah bosan datang ke rumahnya selama 1  tahun ini hanya untuk sekedar mendengar Ito bicara padaku lagi.
            ” Pakdhe, saya minta maaf jika kedatangan saya mengganggu semua yang ada di sini, terutama Ito. Tapi bukan seperti itu maksud kedatangan saya. Saya…hanya ingin dimaafkan…,”
            Aku tertunduk. Kalimatku tadi memulai kebisuan antara aku dan ayah Ito. Entah kenapa aku selalu lebih suka memandangi butiran-butiran tanah di bawahku, di rumah Ito ini, daripada lantai marmer yang dipasang di rumahku. Hingga bisa dipastikan aku selalu tertunduk saat ayah Ito memandangku lekat-lekat seperti sekarang ini.  
            Aku semakin tertunduk. Kalimatku tadi menutup kedatanganku hari ini. Ayah Ito yang seorang pedagang kaki lima itu tidak begitu pandai bicara hingga beliau membiarkanku terlalu lama berdiri saja sambil tertunduk. Mungkin karena aku anak seorang bupati atau mungkin juga bentuk persetujuan beliau terhadap sikap Ito yang enggan bicara padaku lagi.
            ” Nak, datanglah kemari lagi esok. Bantu bapak untuk membuat Ito kembali bersemangat. Paling tidak membuatnya meninggalkan kamarnya barang satu jam saja,” Ayah Ito menepuk bahuku pelan. Rasanya membanggakan sekali saat bahuku ditepuk seperti sekarang ini oleh seorang pria dewasa yang sepertinya mempunyai banyak pengalaman hidup yang bisa dibaginya denganku. Aku selalu berharap bahuku bisa ditepuk seperti sekarang ini oleh pria dewasa yang menjadi ayahku. Setidaknya sekali saja, saat aku berhasil lulus dari sekolah menengah atas tahun kemarin.
            Aku tersenyum dalam kepulanganku kali ini. Pesan yang begitu menyenangkan untuk didengar. Meskipun pada akhirnya tidak ada yang kudapatkan dari Ito dalam setiap kedatanganku. Ito hanya mengizinkanku memandangi pintu kamarnya tanpa harus bersuara memanggil namanya. Ito juga hanya membiarkanku dipandangi oleh ayahnya begitu lama. Untuk sekedar mencari jawaban apakah benar aku bersalah atas ketidak lulusan putranya dari sekolah menengah atas tahun kemarin.
            Kutapaki lagi jalanan yang kulewati untuk menuju rumah Ito. Sebuah gang sempit  yang terlalu dibutuhkan banyak orang. Banyak tapak kaki yang terlihat. Mungkin hanya aku yang memberikan tapak sepatu di sini. Sebuah perkampungan yang tersembunyi tapi penduduknya sering terlihat di jalanan perkotaan. Seperti halnya ayah Ito. Seorang pedagang kaki lima.
            Apa yang telah kulakukan setahun yang lalu ? Yang membuat Ito enggan bertemu denganku lagi ? Pertanyaan itu belum terjawab hingga aku mencapai ujung dari gang sempit yang panjang ini. Mungkin benar kalau Ito tidak berhasil lulus dari ujian akhir SMA . Mungkin benar kalau aku sekarang mampu melanjutkan pendidikanku di sebuah universitas. Tapi aku rasa tidak benar kalau Ito harus tidak bicara padaku seperti ini.
          Ito lebih pintar dariku. Tapi aku lebih beruntung darinya. Itu adalah kenyataan. Tapi bukan kenyataan itu yang ingin kukatakan pada Ito setiap kali aku datang ke rumahnya. Tapi sebuah kenyataan lain, bahwa ia masih berhak mendapat perhatian dariku. Namun sepertinya ia tidak menyadari kenyataan lain itu. Ito seorang anak yang pintar. Tentu saja ia sudah memikirkan kenyataan itu sejak setahun yang lalu. Kenyataan bahwa dirinya yang pintar tidaklah seberuntung aku. Dan itu membuatnya tidak menghiraukan kenyataan lain bahwa ayahnya masih selalu berdiri di depan pintu kamarnya barang sejenak untuk mengucapkan pamit sebelum ia menuju jalanan perkotaan menjajakan dagangannya di sebuah tenda kecil. Dan juga aku yang masih selalu mengunjunginya berharap mendapatkan senyuman yang telah hilang sejak setahun yang lalu.
           Tatapanku masih terarah ke depan. Ito…yang berjalan menuju ke arahku itu benar Ito. Tangannya yang menenteng sebuah tas plastik kecil yang berwarna hitam, masih saja terlihat kurus seperti tahun kemarin. Tapi wajahnya tertunduk hingga aku tidak mampu melihat sorot matanya. Apakah tatapannya telah berubah selama setahun ini ? Aku rasa ayahnya sendiri tidak tahu. Mungkin saja pakdhe, begitu aku memanggil ayah Ito, tidak tahu kalau anaknya keluar rumah. Dengan bertelanjang kaki dan wajah tertunduk.
          Kuhentikan langkahku. Ito sepertinya menyadari kalau ada seseorang di depannya yang menunggunya menghentikan langkah juga. Tapi ia tidak tertarik untuk mengetahui siapa orang yang sengaja menghentikan langkah untuknya. Ia hanya mengamati ujung sepatuku yang terkena cipratan lumpur dari kampungnya. Dan ia segera tahu itu aku.
          Ia membuang bungkusan yang tadi dipegangnya dan berlari melewatiku. Ia benar, bungkusan itu hanya akan menyulitkannya melarikan diri dariku karena ia harus melewati sebuah gang yang sempit dan panjang untuk sampai ke kampungnya. Ito meninggalkanku bersama sebuah kantung plastik hitam yang setengah sengaja dijatuhkan. Bau makam segera menghampiriku. Sepertinya ia setengah sengaja menyuruhku melewati gang sempit itu lagi.
     Aku membetulkan letak kacamataku dengan telunjuk mengarah ke atas. Situasi seperti ini perlu perubahan. Tapi bagaimana aku mengubah Ito, aku sendiri yang harus memutuskan caranya.
            Kupungut kantung plastik itu dan segera kususul Ito. Tidak peduli betapa sempitnya gang itu. Tidak peduli juga kalau ini akan berakhir seperti kemarin dan kemarinnya lagi.
----
            ” Kau tidak menganggapku bodoh, bukan ? Hingga kau tidak menyangka aku akan tahu bahwa kau ada di sini,” kukatakan itu pada Ito setibanya aku di belakangnya.
            Tangannya masih menyentuh gundukan tanah di depannya. Kedua tangannya, dengan jari-jari terbuka seakan berharap bisa menggenggam gundukan tanah pekuburan itu. Kuistirahatkan kedua kakiku dengan ikut berlutut di samping Ito.
            ” Apa ibumu tahu kalau kali ini kau datang tanpa menebarkan bunga di atas makamnya ?,” tanyaku sambil menyodorkan kantung plastik berisi bunga makam yang tadi kupungut karena terlihat setengah sengaja dijatuhkan.
            Masih tidak bicara. Ada atau tanpa Ito di sini rasanya sama saja. Hening. Mungkin ada atau tidak adanya aku di sini sekarang juga sama saja bagi Ito. Aku berhak merasa begitu karena sedari tadi hanya makam itu yang menjadi background kedua bola matanya.
            Kini kedua tangannya meraba papan yang tertancap tepat di ujung pusara. Dalam pandanganku sepertinya Ito sedang mengeja dengan teramat pelan setiap huruf dan angka yang tertulis di sana. Sumirah, lahir 28-9-1966, wafat 5-8-2007. Aku tidak tahan melihat pemandangan seperti itu. Kualihkan pandanganku ke atas. Awan-awan terlihat berteman dengan Ito. Kenapa tidak berubah menjadi mendung hitam saja sehingga Ito akan segera bangkit dan itu akan menciptakan kesempatan untuk bicara dengannya. Kuhembuskan nafas dengan agak berat. Kuletakkan kantung plastik itu di atas gundukan tanah di depanku.
            ” Kudengar ibumu…,”
            ” Meninggal karena tidak percaya putra satu-satunya tidak lulus ujian akhir SMA,” Ito memotong kalimatku, tapi tatapan matanya hanya tertuju pada papan itu. ” Apa lagi yang ingin kau ketahui ? Akan kujawab pertanyaanmu dan setelah itu jangan pernah mengunjungiku lagi,”
            Ito bicara.
            ” Sayangnya, aku ingin terus mengunjungimu. Karena kita adalah sahabat. Kurasa kau tidak terlalu bodoh untuk melupakan hal itu. Selama setahun ini aku mencoba mengingatkan hal itu padamu kalau saja kau lupa,”
            Angin yang berhembus di tempat ini membuat suaraku agak sedikit kabur. Atau mungkin memang tidak ada keberanian yang sesungguhnya untuk menghadapi Ito.
            ” Kita adalah sahabat sewaktu dulu kita berbaris bersama setiap kali upacara bendera hari Senin. Kita juga adalah sahabat sewaktu dulu kau dan aku berebut buku di perpustakaan karena hanya itu buku satu-satunya. Aku juga ingat kita adalah sahabat ketika kita bertukar bekal di sekolah. Meskipun kita adalah anak SMA, tapi aku selalu menyuruhmu membawa bekal…,”
            ”…dan aku selalu suka bekal yang kau bawa. Sebungkus nasi dengan sambal khas buatan ibumu ditambah dengan…,”
            ”…kurasa aku tidak lupa menyebutkan kata’dulu’. Aku bukan lagi sahabatmu saat aku tahu bahwa ujian akhir SMA saja aku tidak lulus,”
            Ito semakin erat memegang papan pusara itu. Kurasa itulah yang bisa menguatkannya sekarang. Mungkin saja ia akan menangis meskipun tidak akan ditunjukkannya itu padaku.
            Ito, apakah ini salahku ? Apakah aku seharusnya meminta maaf sekarang seperti yang telah kurencanakan sejak setahun yang lalu ? Tapi kau memperlakukanku seakan aku hanya punya setengah kesalahan. Itu tidak cukup menguatkanku untuk meminta maaf padamu. Carilah setengah kesalahanku lagi dan tunjukkan itu padaku agar aku segera meminta maaf.
            ” Kurasa tidak baik membiarkan ibumu ada di tengah-tengah pembicaraan kita. Lebih baik kita mencari tempat yang nyaman untuk bicara,” kukatakan itu dengan masih terus memandangi bahunya.
            ” Kau lah yang berada di tengah-tengah antara aku dan ibuku. Aku tidak berharap kau ada di sini sekarang,”
            Ito mulai bicara banyak terhadapku. Meski semuanya bernada penolakan dan rasa sakit hati.
            ” Kurasa kau berharap,” aku teringat dengan kantung plastik yang terlihat setengah sengaja dijatuhkan tadi. Semua orang juga tahu kalau bunga-bunga sejenis itu hanya akan terlihat indah di atas pekuburan. Kini isi di dalamnya telah menghiasi gundukan tanah di depanku. Pertanda bahwa masih ada orang yang mencintai jasad yang terkubur di dalamnya.
            Ito bangkit. Ia mendahuluiku.
            ” Kau mau ke mana ?,” tanyaku sambil terus mengikutinya.
            ” Apa kau pikir aku akan bermalam di sini ?,”
            ” Bukan itu yang kumaksud. Hey, bicaralah dengan nada yang agak enak untuk didengar,”
            ” Bukankah setiap kali kau datang ke rumahku hanya untuk mendengarku bicara ?!,” tanya Ito masih dengan nada yang sama. Dan juga langkah yang sama. Langkah yang cepat. Tapi akhirnya ia berhasil membuatku tertinggal. Ito pasti saja sudah biasa berjalan di jalanan seperti ini. Berbatu dan terkadang berlumpur.
--------


 Aku masih mengamati Teo. Kupikir Teo akan membutuhkanku jika pada akhirnya Ito masih saja menjadi Ito setahun yang lalu. Ya, aku masih mengamati Teo. Teo yang melangkah seperti Ito. Teo yang setiap kali terlihat melewati gang sempit berlumpur dengan diapit dua buah tembok besar. Dan Teo yang tiap bergumam selalu tak lupa menyebut nama Ito. Kulihat ia ingin sekali mengatakan pada Ito sebuah rahasia besar yang pasti akan membuatnya kembali bersemangat. Menjadi Ito yang seperti dulu.
  ” Masalahnya adalah kebanyakan orang memikirkan apa yang tidak mereka inginkan, dan mereka bertanya-tanya mengapa hal-hal yang tidak mereka inginkan itu terus bermunculan,” katakanlah itu, Teo. Katakan pada Ito !!!.  Aku dengar itu perkataan John Assaraf, seorang mantan anak jalanan tapi pada akhirnya sekarang menjadi seorang pengarang buku terlaris internasional karena ia enggan berpikir tentang hal buruk yang menimpa dirinya, tapi memikirkan masa depan selanjutnya.    Atau mungkin kau ingin kucarikan kata bijak lainnya atau cerita dari seseorang yang mungkin bisa membantumu memulihkan semangat seorang Ito ?
  Baiklah, dengarkan apa yang akan kuberikan padamu. Ini adalah cerita dari Bill Harris, seorang pemilik perusahaan Centerpointe Research Institue yang telah memampukan ribuan orang di seluruh dunia untuk hidup lebih bahagia dan bebas stress. Anggap saja Bill Harris yang menceritakannya sendiri padamu karena mungkin kau akan lebih suka mendengarkannya daripada aku yang harus bicara.
  Saya mempunyai murid bernama Robert, yang mengikuti kursus online yang saya selenggarakan, dan melalui kursus ini ia dapat menghubungi saya melalui e-mail.
  Robert seorang gay. Dalam e-mail ia menceritakan realitas kelabu hidupnya. Di pekerjaan, rekan-rekan kerjanya berkomplot melawannya. Situasi kerjanya sungguh menekan karena sikap jahat dari rekan-rekannya. Ketika berjalan di jalanan, ia dilecehkan orang-orang homofobia. Ia ingin menjadi seorang pelawak dan ketika ia melawak, semua orang mencemoohkannya. Seluruh hidupnya adalah ketidakbahagiaan dan penderitaan, dan semuanya terpusat pada serangan yang ia terima karena seorang gay.
   Saya mulai mengajarkan bahwa ia berfokus pada apa yang tidak ia inginkan. Saya menunjukkan e-mail yang telah ia kirimkan dan berkata, ” Coba baca lagi. Lihatlah semua hal yang tidak Anda inginkan, yang Anda ceritakan pada saya. Saya dapat melihat bahwa Anda sangat bersemangat tentang hal ini. Dan ketika Anda memusatkan pikiran pada sesuatu dengan penuh semangat, hal itu akan terjadi dengan lebih cepat lagi,”
   Kemudian ia mulai merenungkan, serta menerapkan pemusatan pikiran pada apa yang sungguh-sungguh ia inginkan. Apa yang terjadi dalam enam minggu berikutnya sungguh-sungguh ajaib. Semua orang di kantornya yang selama ini melecehkannya dipindah ke bagian lain, berhenti bekerja, atau membiarkan dirinya apa adanya. Ia mulai menyukai pekerjaannya. Ketika ia berjalan di jalan, tidak ada lagi orang yang melecehkannya. Ketika ia melawak, ia mulai mendapatkan tepukan pujian, dan tidak ada lagi orang yang mencemoohkannya.
   Seluruh hidupnya berubah karena ia berubah dari berfokus pada apa yang tidak ia inginkan, apa yang ia takutkan, dan apa yang ia hindari, menjadi berfokus pada apa yang ia inginkan.
   Teo, apa kau sudah mengerti apa yang dimaksudkan Bill Harris ? Kalau kau sudah mengerti, katakan itu pada Ito. Sekarang !!!
   

            Ito sudah mulai mau bicara padaku. Di rumahnya. Meski kadang beberapa jam terlewat tanpa kata-kata. Aku tidak tahu apakah itu caranya untuk memberiku kesempatan bicara tanpa harus mempersilakanku atau itu caranya untuk membuatku diam. Apakah itu caranya memberitahuku kalau ia sedang tidak ingin diganggu. Tapi sampai kapan kata ‘sedang’ itu akan dipakai ?
            ” Ito, kau sudah membacanya ?,”
            ” Bill Harris ?,” tanyanya pelan. Tidak seperti menggunakan nada yang selama ini ia gunakan.
            ” He..eh,” kami berdua lalu terdiam.
            Aku hanya bisa menuliskannya. Tidak bisa mengatakannya secara langsung. Karena Ito akan memotong kalimat demi kalimat yang kusampaikan. Entah untuk sesuatu yang dianggapnya penting untuk diucapkannya atau tidak. Dan kalimat-kalimat bijak itu akan kehilangan makna jika terlalu banyak tanggapan yang diberikan. Cerita yang kutuliskan itu hanya butuh anggukan.
            ” Lalu…bagaimana ?,” tanyaku hati-hati. Berharap dengan begitu Ito akan merasa bertanggung jawab untuk menjawab pertanyaanku.
            ” Apanya yang bagaimana ?,” Ito melemparkan pertanyaan retoris padaku. Tapi apapun bentuk pertanyaan itu, pasti bisa kujawab.                                                                                  
            ” Bagaimana dengan semangat hidupmu ? Kau sudah ingat di mana kau menaruhnya dulu ? Kau sudah ingat apa yang seharusnya kau lakukan sejak setahun lalu ?,”
            Terdiam. Ini menyenangkanku. Tidak ada pembelaan diri. Tidak ada potongan kalimat yang menunggu lanjutan. Juga tidak ada nada bicara yang penuh dengan penolakan dan sakit hati.
            Ito menerawang jauh ke depan. Kulihat kini banyak pemandangan yang menghiasi kedua bola matanya. Pohon pisang yang hijau dan kumpulan bocah yang bermain sepak bola dengan bertelanjang kaki di depan rumahnya. Dan kurasa jiwanya pun  kini tengah bermain bersama bocah-bocah itu. Karena aku merasa ia mendapat tambahan pelajaran dari bocah-bocah itu. Mereka menggiring bola jauh ke depan. Ke gawang lawan untuk mendapat sebuah kemenangan. Bukannya menggiringnya ke gawang mereka sendiri. Karena itu akan menyebabkan sebuah kekalahan. Ya…jauh ke depan.
            Aku tersenyum sendiri meskipun aku tidak tahu apa yang kupikirkan barusan sejalan dengan Ito ataukah tidak. Tapi aku memang seharusnya tersenyum karena Ito juga akhirnya tersenyum.
            ” Kenapa kau dulu berniat meminta maaf padaku ?,”
            ” Karena aku lulus…dan kau tidak,”
            Ito tersenyum kecil.
            ” Kau tahu bagaimana caranya aku bisa mengambil ujian paket C ?,”
------

Terima kasih, Teo. Kau sudah mau mendengarkanku. Kau sudah mendengarkan HATI NURANIMU sendiri…Aku akan terus menemanimu meskipun episode pertama dalam hidup Ito, episode kesedihan, telah berakhir dan sekarang ia akan menjalani episode kedua dalam hidupnya…Ito pasti juga punya HATI NURANI yang bisa kujadikan teman bicara jika ada saatnya kau meninggalkanku sejenak untuk bicara dengan Ito. Kenalkan aku padanya, Teo…HATI NURANI milik Ito…






Notes:
The first winner of short story competition (Provincial Level) that was held by Balai Bahasa Semarang ...
This is my first trophy when I was high school..
Enjoy it guys, give it your suggest so I can write better than this...

you can find the further info here:

Wednesday, May 22, 2013

Renungan 10 detik (mungkin) di tengah jalan

Posting on Rosania Rossa di Wednesday, May 22, 2013 1 komentar
Re-edit (13/04/2011 01:59)


Jam 18.30 PM....tiba di rumah..rutinitas setiap hari Rabu

Jam 09.45-12.00 ujian Teori aKuntansi
Jam 12.30-15.00 kuliah Manajemen strategik
Jam 15.30-18.00 kuliah Pasar Modal
melelahkan...sungguh penat...belum lagi terpikirkan proposal skripsi dan tugas Metodologi Penelitian dan Kamis harus masuk jam 07.15. teng kalo nggak ya silahkan nunggu di luar sampe kelas selesai...dan bla..bla..bla...

sebenarnya tidak ada yang istimewa dari semua kejadian di kampus..peristiwa yang berbekas hingga detik ini adalah ketika di jalan raya hendak pulang ke rumah. Dua buah bus jurusan Jogja-Surabaya saling berkejaran, hampur menabrakku, mengklaksonku berulang-ulang *padahal udah minggir -,-*, dua-duanya menerobos lampu merah...ya Tuhan, betapa kematian itu sungguh tidak bisa disangka kapan datangnya dan apa penyebabnya...

astaghfirullah..astaghfirullah..hanya bisa beristighfar di dalam hati...keluar dari jalanan di kota, masuk ke jalan besar arah ke rumah...Ya tuhan, sepi sekali...kanan kiri bangunan-bangunan tanpa nyawa, pohon-pohon yang bisu..gelap seperti tidak ada kehidupan....
-masih melaju di atas motor-
terlintas dalam benak...
seperti inikah suasana di dalam kubur kelak? gelap, tanpa cahaya, tanpa teman...sendirian dan ketakutan...

lalu mulai menganalogi...
jika kampus ibarat dunia dengan segala tetek bengeknya, yang ribet, yang melenakan, yang penuh dengan sukacita dan kesedihan maka jalan menuju rumah adalah kematian, sedangkan rumah ibarat surga atau neraka...ketika berada di kampus, otak dipaksa untuk bekerja keras, hati lelah dengan segala kesibukan, tetapi juga bisa merasakan sukacita dengan berkumpul bersama teman, berbagi cerita, dan saling menasehati...seperti itulah dunia...banyak hal-hal yang menyenangkan, tetapi banyak juga hal-hal yang membuat sedih dan frustasi....
perjalanan pulang ke rumah, ibarat sebuah kematian....melewati jalanan yang kosong, sepi, gelap...seperti itulah kubur kelak...jalanan itu tidak akan bercahaya dengan sendirinya...diperlukan amal sholih...
rumah ibarat surga atau neraka...di perjalanan pulang ke rumah, aku tidak tahu akan menghadapi situasi seperti apa, apakah rumah dalam keadaan harmonis, nyaman, tidak ada pertengkaran, permusuhan, dan saat aku pulang nanti aku bisa terbebas dari segala urusan kampus..ataukah saat aku pulang nanti rumah dalam keadaan semrawut, sedang terjadi pertengkaran atau huru-hara...

Ya Allah...jika Engkau menghendaki aku berumur panjang, jadikanlah umurku bermanfaat...dan ketika aku meninggal nanti, izinkanlah aku meninggal dalam keadaan khusnul khotimah...

Teman, hidup yang hanya sekali kenapa digunakan untuk menyakiti orang lain, untuk mendurhakai orang tua, untuk berbuat hal-hal yang membuat Allah murka...astaghfirullah...Ya Allah, yang maha membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di jalan-MU...

03.02.2011/01:05AM

Posting on Rosania Rossa di Wednesday, May 22, 2013 0 komentar
udara pun lelah ketika beradu dengan angin
gerimispun menangis ketika digantikan hujan
dan aku diam menyaksikan keduanya
tersadar betapa relanya aku tersakitkan
layaknya gerimis dan udara
yang bahkan tidak kukenal...

karena ternyata amatlah sukar menyapa udara
untuk memberinya kekuatan
pun sangatlah susah menyeka gerimis
yang menangis...
dan aku diam menyaksikan keduanya
tersadar betapa relanya aku terkalahkan
layaknya gerimis dan udara
yang bahkan tidak kukenal...

30.01.2011/07:55PM

Posting on Rosania Rossa di Wednesday, May 22, 2013 0 komentar

bukan kehendakku untuk menangis
ketika matahari tak mengiyakan bersinar kala malam,
sungguh bukan kehendakku untuk menangis,
ketika pasir pantai tak mungkin semuanya terinjak
hanya saja...
jadilah bulan untukku
ketika matahari membuatku sedikit kecewa,
meski hanya diam dan mencipta kesunyian,
hanya saja...
jadilah ombak yang tenang untukku
ketika pasir pantai membuatku lelah meraba...

Aku (tak) Ingin Memiliki Langit

Posting on Rosania Rossa di Wednesday, May 22, 2013 2 komentar

Note: cerpen ini sudah lama sekali saya tulis, mungkin sekitar 4 tahun yang lalu (tahun 2007). Re-edit (16/04/2011 16:47). 


Cinta, langit itu indah, tapi tak ingin menjadi indah di depanku.
Hari ini mendung untuk yang kesekian kali. Entah kenapa langit itu selalu menangis saat kusapa dengan bahasa kita. Aku tak akan bisa melihat bayangmu yang sedang melukis matahari di langit sore ini. Kadang, ingin kucorat-coret saja langit itu dengan tinta-tinta lukis milikmu. Kutulisi dengan kata-kata seperti para demonstran muda. Tapi ia terlalu tinggi untuk kuraih dengan tangga. Maka, hari ini kuputuskan untuk menyewa sayap bidadari yang dulu pernah berteman denganku. Tapi Cinta…aku tidak akan jatuh cinta pada bidadari. Tunggulah aku esok membangunkanmu dengan bunga yang kupetik dari langit. Jika langit memang sebegitu tak indah sehingga tak ada bunga, maka akan kubawa bunga dari bumi kita dan akan kutanam di sana. Sebulan lagi akan kubangunkan mimpimu kembali dan kuhadiahkan bunga itu untukmu.
            Cinta,…kemarin, hari ini, dan mungkin esok, langit itu indah, tapi tak ingin terlihat indah di depanku. Cinta, aku sudah membuat sebuah puisi untuknya. Ia diam saja, Cinta. Tidak sepertimu yang tersenyum, tertawa, lalu menangis karena kau tak pernah bisa membuat puisi. Langit itu meninggalkan aku yang berdiri membacakan puisi itu untuknya. Tetangganya yang seorang matahari, menasehatiku agar kembali ke bumi kita. Menyerahkan puisi itu untukmu. Aku pun sejenak berpikir. Ia benar Cinta. Sudah satu minggu aku membujuk langit agar menjadi background yang indah di pernikahan kita nanti. Aku meninggalkanmu yang terus melihat langit yang dari sudutmu  terlihat selalu biru. Dan kau melihatku selalu berjalan di belakang langit, tempat bidadari yang kusewa sayapnya itu tinggal. Tapi Cinta…aku tidak akan jatuh cinta pada bidadari.
            Cinta…dengarlah percakapanku dengan langit yang kurekam untukmu agar kau juga membantuku membenci langit yang tak ingin terlihat indah di depanku. Hari itu setelah selesai mandi, aku berencana akan membuat format surat undangan pernikahan kita di toko langit, Cinta. Kudengar, di sini ada warna biru yang begitu indah. Cinta, biru itu milikmu setelah aku menyuruh langit untuk menandatangani surat perjanjian jual beli warna biru itu. Untuk itu, Cinta, aku harus bertemu dengan langit dan kuharap kau akan segera tahu apa yang kubicarakan dengan musuh mayaku itu lewat rekaman yang nantinya akan kuposkan. Tapi Cinta, maaf jika rekaman itu akan sedikit terlambat karena itu bukan pos kilat. Di sini pun tidak ada yang gratis, Cinta. Ada yang berbaik hati mengeposkan rekaman itu untukmu  tanpa
aku harus mengeluarkan uang sedikit pun. Karena memang, Cinta, aku lupa membawa uang dari bumi kita karena aku terlalu bernafsu untuk berdiskusi  dengan
langit. Ingin setiap hari kukatakan, setiap aku terbangun dari tidur panjangku, aku tidak akan jatuh cinta pada seorang pun di langit ini, Cinta.
             -  Berikan aku warna biru itu. Aku punya Cinta yang membuatku harus meminta biru itu darimu.
            Kukatakan itu pada langit dengan sedikit campuran nada kesombongan. Yang aku dengar di langit ini penduduknya suka sekali menyombongkan diri. Karena mereka sudah terbiasa di atas dan membuat manusia selalu mendongak kalau ingin melihat betapa indahnya langit.
            - Aku adalah langit. dan langit hanya punya dua warna. Biru dan hitam.
            Langit menjawabku tanpa melihat mataku, Cinta. Apakah ia takut ? Apakah ia khawatir kalau tidak hanya penduduk langit yang mempunyai mata yang indah. Penduduk bumi pun juga berhak, bukan ? Aku tersenyum membayangkan semua itu. Aku berpikir, seharusnya Langit itu bertemu denganmu dan memandangmu lebih lama, Cinta. Agar ia takut dan menangis karena kau lah pemilik mata yang terindah.
             - Lantas ?
             -  Aku adalah langit yang hanya punya dua warna. Dan kau adalah manusia yang datang dari bumi untuk meminta salah satu warna milikku untuk Cinta milikmu.
            - Lantas ?
            Kuulangi lagi pertanyaanku itu. Aku harap Langit akan marah menghadapi orang sepertiku dan segera memberikan birunya cuma-cuma.
             -  Kau tidak akan mendapat biru itu. Karena Tuhan hanya menciptakan biru itu untukku, bukan untukmu.         
             -  Biru itu bukan untukku, tapi untuk Cinta yang tengah menungguku di bumi kami.
            - Lantas ?
            Pertanyaan langit itu sempat membuatku bingung, Cinta. Aku harus membuka seluruh file yang ada di otakku untuk mengingat kalau alasanku datang ke langit dengan sayap yang kusewa dari seorang bidadari adalah karena aku jatuh cinta padamu, Cinta.
             -  Kumohon, aku ingin melihat Cintaku bahagia jika aku pulang dari langit membawakan biru itu untuknya. Lagipula kau kau tak pernah menunjukkan biru itu padaku waktu aku ada di bumi. Kau tak ingin terlihat indah di depanku.
            - Lantas ?
            - Jadi, berikanlah dukunganmu untuk Cinta. Dan ini…
            Kusodorkan surat perjanjian itu pada langit. Ia tak memandangnya sama sekali, Cinta. Aku mulai bingung, Cinta, karena memang aku tak merancang terlalu banyak kata-kata untuk bertemu dengan langit.
             -  Uangnya akan kumasukkan ke dalam rekening atas namamu. Dan kau bisa mengambilnya di bank manapun kau suka.
            Aku ingat, Cinta, kalau di bumi kita inilah cara yang paling ampuh untuk membuat seseorang berubah pikiran. Hanya dengan rekening yang bisa sedikit diupayakan.
             - Apa semua manusia di bumi kalian seperti kau ?
             - Kurasa ya jika ini menyangkut Cinta.
             - Apa semua manusia yang tengah jatuh cinta akan pergi ke langit dan memaksa memberikan warna biruku untuk Cintanya ?
            Kurasa jika kujawab ya, Cinta, langit itu akan tersentuh. Ia akan segera sadar kalau ternyata Cinta itu indah dan memang seharusnya ditampakkan indah. Dan manusia adalah makhluk yang paling agung karena selalu bersedia berjuang demi Cinta. Maka kujawab saja’ya’.
            - Ya.
            Langit itu diam sejenak, Cinta. Tak tahu apa ia sedang mengotak-atik kata untuk menjawab pernyataanku. Tapi ia diam terlalu lama, Cinta. Hingga aku bosan melihatnya memandang ke depan dan membuang nafasnya percuma, tanpa memunculkan kata atau gemuruh yang biasanya kita dengar saat kita melihat langit yang tak ingin terlihat indah di depan kita.
            Maka aku pun pulang, Cinta, ke penginapan di mana aku tinggal sementara. Karena aku akan pulang, Cinta. Ke bumi milik kita. Di sini semuanya memasang muka bahagia, kecuali langit. Bahkan aku diperbolehkan menginap tanpa harus membayar pada mereka. Mungkin langit akan marah, Cinta, kalau ia tahu aku menginap di dekat rumahnya. Tapi Cinta, aku tak akan jatuh cinta padanya.
            Di kamarku, Cinta, aku ingin langsung merebahkan diri dan membayangkan wajahmu yang tengah melukis matahari karena kau sungguh menyukai matahari. Nanti, Cinta, aku akan meminta foto dan biodata matahari agar bisa kau simpan. Sebagai kenang-kenangan dariku yang pernah pergi ke langit untukmu. Tapi, Cinta…aku tak bisa segera terpejam saat kulihat sebuah amplop biru yang tergeletak di atas meja lampu di kamarku. Tertulis nama Langit di sampul depannya. Entah kapan langit itu mengirimkan surat itu untukku yang sebentar lagi akan kubacakan untukmu, Cinta. Sepertinya ia begitu mantap mengirimkan surat itu untukku. Tintanya begitu hitam pekat. Bahkan lebih pekat dari tinta lukismu, Cinta. Mungkin aku akan malu padanya jika saja aku mewujudkan keinginanku sebelum aku pergi ke sini, Cinta. Keinginanku untuk mencorat-coret langit yang karena tak ingin terlihat indah di depanku. Keinginanku yang begitu kuat sehingga aku lupa membawa uang ke sini dan malah membawa serta sekaleng tinta lukis milikmu, Cinta. Untuk itu aku mohon maaf, Cinta, jika untuk sementara kau tak akan bisa melukis matahari yang gerhana dengan warna hitam.
            Seperti janjiku tadi, Cinta, aku akan membacakan surat itu untukmu.

                        Aku diam saat di depanmu dan aku pun akan diam saat di belakangmu. Aku adalah langit yang hanya berteman dengan sepi, bukan dengan matahari. Untuk itu kau boleh mengambil matahari untuk Cinta milikmu yang hanya seorang manusia saja. Aku bertaruh kau juga tak akan sanggup membujuk matahari karena ia seperti aku. Tapi langit hanya berteman dengan sepi, bukan dengan matahari.
                        Aku pernah mendengar tentangmu sebelum kau pergi ke sini. Juga tentang bidadari yang sekarang hanya berdiri di depan rumahnya menghitung udara. Kau tidak pernah merasa kasihan pada bidadari itu, maka untuk apa aku kasihan padamu ?
                        Aku adalah langit yang hanya punya dua warna. Biru dan hitam. Lalu jika kau ambil biru itu dariku untuk Cinta milikmu yang hanya seorang manusia saja, kenapa kau harus mengeluh saat aku tak ingin terlihat indah di depanmu ? Langit hanya indah dengan biru yang tadi kau minta dariku. Aku tak ingin terlihat indah di depanmu karena aku tak ingin kau ambil biru itu dariku. Tapi rupanya Cintamu dari sudutnya melihatku sebagai langit yang indah karena biru. Lalu, apa kubiarkan saja Cinta milikmu yang hanya seorang manusia saja memiliki biru milikku, atau kubiarkan saja Cinta milikmu yang hanya seorang manusia saja menangis karena aku berpikir bahwa Cinta bukan saja yang selalu melukis matahari. Ada pula Cinta –Cinta lain yang berbicara pada air di pantai sana, juga yang belajar menulis puisi di depan kaca. Mereka juga berhak atas biru milikku. Untuk itu tak akan kuserahkan biruku untuk Cinta milikmu yang hanya seorang manusia saja dan membuat Cinta-cinta milikku menangis kehilangan biru.

            Aku tertegun, Cinta. Aku merasa seperti manusia yang seharusnya tak punya nyawa. Langit itu membuatku tertegun, Cinta. Dan tiba-tiba membuatku tak ingin lekas pulang ke bumi milikmu, bukan milik kita. Karena aku tak ingin lagi memiliki bumi sepertimu, Cinta, yang hanya seorang manusia saja.
            Hari ini aku akan pulang, Cinta. Kubatalkan niatku meminta jasa post.  Hanya untuk menyerahkan diaryku padamu. Rekaman itu kutulis dalam diaryku, Cinta. Bayanganku akan terus memanggilmu Cinta dan menemanimu melukis matahari di depan pantai bumi. Tapi aku lah yang  akan terus menemani langit membuat puisi. Aku tidak jatuh cinta pada bidadari yang sayapnya kusewa, Cinta. Namun, aku jatuh cinta pada langit yang biru dan tak ingin terlihat indah di depanku.
            Cinta, aku lupa mengatakan kepadamu kalau langit itu adalah seorang wanita sepertimu.

K.R.Y - Let's Not

Posting on Rosania Rossa di Wednesday, May 22, 2013 0 komentar







LET'S NOT (ENGLISH VERSION)

Why did we have to go our separate ways?
I’ve tried to push these feelings far away
But I cannot pretend that everything is fine
Won’t you change your mind? I beg you to give us a chance
I, I refuse to think it’s all in vain
If we just try to believe that we can overcome whatever’s in our way

Let’s not lose faith by telling ourselves it just won’t work
Let’s not give up so easily and just say good-bye
The love that binds us two is stronger than you think
No matter what struggles we’d face
I just want you to know that my heart…is true
You, you have always been the one for me
Let me just tell you these heartfelt words: Without you here, I’m just an empty soul

Whenever things get tough and it seems it’s just too hard to bear
You can count on me to restore your faith within

Please don’t let this be the end of all that we’ve been through
Please don’t tell me that our love is just a shattered dream
The love that binds us two is stronger than you think
No matter what struggles we’d face
I just want you to know that my heart will never let go of you
Let’s not let this be our last chapter…of love



Berhentilah Jadi Gelas

Posting on Rosania Rossa di Wednesday, May 22, 2013 7 komentar
Re-edit (17/04/2011 08:00)


Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.

"Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu? " sang Guru bertanya.

"Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya, " jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu." Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

"Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kata Sang Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit." Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.

"Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru.

"Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.

"Sekarang kau ikut aku." Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. "Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau." Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

"Sekarang, coba kau minum air danau itu," kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, "Bagaimana rasanya?"

"Segar, segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.

"Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?"

"Tidak sama sekali," kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

"Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam.Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah."

Si murid terdiam, mendengarkan.

"Tapi Nak, rasa `asin' dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau."
 

Imajinasi Kepala Kaca Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review