
Matahari sudah lelah berbincang dengan angin, karena semakin
lama angin semakin bernafsu untuk berdiskusi, menjadi kencang dengan
sendirinya, mengaburkan sinar yang sekuat tenaga dipertahankan sang mentari
agar masih bisa menunjukkan Teo jalan pulang. Awan-awan yang dari dulu hanya
menjadi background langit itu lebih memihak angin untuk tidak berteman dengan
bangsa manusia. Ia menghitam.
Teo berhenti sejenak. Dibuangnya
nafas berat untuk kesekian kali. Dihadapannya melintang sebuah kaca besar. Ia
pun melepaskan kacamata minusnya. Diusapnya debu yang menempel di sana dengan
kain khusus yang selalu diletakkannya di saku baju. Tapi sekian lama ia
berhenti dan berdiri di sana, aku melihat ia tidak tertarik untuk memandang
sosok dirinya di dalam kaca. Mungkin akan ada ketakutan saat ia sadar kalau ia
masih juga hidup. Yang kulihat hanya roman wajah Teo yang terlihat lebih tua
dari umurnya, juga kacamatanya itu, seakan menggambarkan kalau ia sudah sangat
penat menghabiskan usia. Kaca itu memberiku gambaran kalau sebenarnya Teo tidak
ingin meneruskan menuruni tangga-tangga itu. Ia tidak ingin segera pulang. Ia
ingin kembali ke lantai atas. Kembali ke singgasananya sambil memandang
kesemrawutan kota kecilnya. Duduk di tempat paling pojok di ruang kelasnya.
Menurutku ia merasa akan segera gila kalau selalu teringat bahwa satu episode
yang diberikan Tuhan padanya tidaklah menyenangkan. Tapi di luar itu persisnya
aku tidak tahu. Aku tidak pernah bisa membaca pikiran Teo. Selama ini aku hanya
mengawasinya dari tempatku dan ceritakan ini pada kalian. Dan kini aku akan
biarkan Teo berkisah sendiri. Tentang sebuah episode dalam hidupnya.
Aku membetulkan letak kacamataku dengan telunjuk
mengarah ke atas. Situasi ini butuh perubahan. Tapi bagaimana aku mengubah Ito,
aku sendiri tidak pernah tahu.
Akhirnya kuketuk juga daun pintu rumah Ito setelah
lama berdialog dengan hatiku sendiri. Kuputuskan bicara padanya untuk kesekian
kali. Lebih tepatnya mencoba meminta maaf. Dan kuputuskan juga untuk menerima
kebisuan Ito padaku seperti yang selalu kudapatkan sebelumnya.
Tapi kali ini juga seperti kemarin dan kemarinnya
lagi, hanya wajah keriput ayah Ito yang menyambutku. Meski raut wajahnya
terlihat sarat dengan beban hidup tetapi bagiku bisa memandang wajahnya sangatlah
membahagiakan. Paling tidak ada seorang penghuni rumah itu yang mau menyambutku
dan mengizinkanku menapaki lantai tanah di dalamnya.
“
Pakdhe, bagaimana kabar Ito ?,”
Lelaki setengah baya di hadapanku
itu kini semakin menunjukkan kerutan di dahinya. Mungkin ia memikirkan alasan
kenapa aku tidak pernah bosan datang ke rumahnya selama 1 tahun ini hanya untuk sekedar mendengar Ito
bicara padaku lagi.
” Pakdhe, saya minta maaf jika
kedatangan saya mengganggu semua yang ada di sini, terutama Ito. Tapi bukan
seperti itu maksud kedatangan saya. Saya…hanya ingin dimaafkan…,”
Aku tertunduk. Kalimatku tadi
memulai kebisuan antara aku dan ayah Ito. Entah kenapa aku selalu lebih suka
memandangi butiran-butiran tanah di bawahku, di rumah Ito ini, daripada lantai marmer
yang dipasang di rumahku. Hingga bisa dipastikan aku selalu tertunduk saat ayah
Ito memandangku lekat-lekat seperti sekarang ini.
Aku semakin tertunduk. Kalimatku
tadi menutup kedatanganku hari ini. Ayah Ito yang seorang pedagang kaki lima
itu tidak begitu pandai bicara hingga beliau membiarkanku terlalu lama berdiri
saja sambil tertunduk. Mungkin karena aku anak seorang bupati atau mungkin juga
bentuk persetujuan beliau terhadap sikap Ito yang enggan bicara padaku lagi.
” Nak, datanglah kemari lagi esok.
Bantu bapak untuk membuat Ito kembali bersemangat. Paling tidak membuatnya
meninggalkan kamarnya barang satu jam saja,” Ayah Ito menepuk bahuku pelan.
Rasanya membanggakan sekali saat bahuku ditepuk seperti sekarang ini oleh
seorang pria dewasa yang sepertinya mempunyai banyak pengalaman hidup yang bisa
dibaginya denganku. Aku selalu berharap bahuku bisa ditepuk seperti sekarang
ini oleh pria dewasa yang menjadi ayahku. Setidaknya sekali saja, saat aku
berhasil lulus dari sekolah menengah atas tahun kemarin.
Aku tersenyum dalam kepulanganku
kali ini. Pesan yang begitu menyenangkan untuk didengar. Meskipun pada akhirnya
tidak ada yang kudapatkan dari Ito dalam setiap kedatanganku. Ito hanya
mengizinkanku memandangi pintu kamarnya tanpa harus bersuara memanggil namanya.
Ito juga hanya membiarkanku dipandangi oleh ayahnya begitu lama. Untuk sekedar
mencari jawaban apakah benar aku bersalah atas ketidak lulusan putranya dari
sekolah menengah atas tahun kemarin.
Kutapaki lagi jalanan yang kulewati
untuk menuju rumah Ito. Sebuah gang sempit yang terlalu dibutuhkan banyak orang. Banyak
tapak kaki yang terlihat. Mungkin hanya aku yang memberikan tapak sepatu di
sini. Sebuah perkampungan yang tersembunyi tapi penduduknya sering terlihat di
jalanan perkotaan. Seperti halnya ayah Ito. Seorang pedagang kaki lima.
Apa yang telah kulakukan setahun
yang lalu ? Yang membuat Ito enggan bertemu denganku lagi ? Pertanyaan itu
belum terjawab hingga aku mencapai ujung dari gang sempit yang panjang ini.
Mungkin benar kalau Ito tidak berhasil lulus dari ujian akhir SMA . Mungkin
benar kalau aku sekarang mampu melanjutkan pendidikanku di sebuah universitas.
Tapi aku rasa tidak benar kalau Ito harus tidak bicara padaku seperti ini.
Ito lebih pintar dariku. Tapi aku
lebih beruntung darinya. Itu adalah kenyataan. Tapi bukan kenyataan itu yang
ingin kukatakan pada Ito setiap kali aku datang ke rumahnya. Tapi sebuah
kenyataan lain, bahwa ia masih berhak mendapat perhatian dariku. Namun
sepertinya ia tidak menyadari kenyataan lain itu. Ito seorang anak yang pintar.
Tentu saja ia sudah memikirkan kenyataan itu sejak setahun yang lalu. Kenyataan
bahwa dirinya yang pintar tidaklah seberuntung aku. Dan itu membuatnya tidak
menghiraukan kenyataan lain bahwa ayahnya masih selalu berdiri di depan pintu
kamarnya barang sejenak untuk mengucapkan pamit sebelum ia menuju jalanan
perkotaan menjajakan dagangannya di sebuah tenda kecil. Dan juga aku yang masih
selalu mengunjunginya berharap mendapatkan senyuman yang telah hilang sejak
setahun yang lalu.
Tatapanku masih terarah ke depan.
Ito…yang berjalan menuju ke arahku itu benar Ito. Tangannya yang menenteng
sebuah tas plastik kecil yang berwarna hitam, masih saja terlihat kurus seperti
tahun kemarin. Tapi wajahnya tertunduk hingga aku tidak mampu melihat sorot
matanya. Apakah tatapannya telah berubah selama setahun ini ? Aku rasa ayahnya
sendiri tidak tahu. Mungkin saja pakdhe, begitu aku memanggil ayah Ito, tidak
tahu kalau anaknya keluar rumah. Dengan bertelanjang kaki dan wajah tertunduk.
Kuhentikan langkahku. Ito sepertinya
menyadari kalau ada seseorang di depannya yang menunggunya menghentikan langkah
juga. Tapi ia tidak tertarik untuk mengetahui siapa orang yang sengaja
menghentikan langkah untuknya. Ia hanya mengamati ujung sepatuku yang terkena
cipratan lumpur dari kampungnya. Dan ia segera tahu itu aku.
Ia membuang bungkusan yang tadi
dipegangnya dan berlari melewatiku. Ia benar, bungkusan itu hanya akan
menyulitkannya melarikan diri dariku karena ia harus melewati sebuah gang yang
sempit dan panjang untuk sampai ke kampungnya. Ito meninggalkanku bersama
sebuah kantung plastik hitam yang setengah sengaja dijatuhkan. Bau makam segera
menghampiriku. Sepertinya ia setengah sengaja menyuruhku melewati gang sempit
itu lagi.
Aku membetulkan letak kacamataku
dengan telunjuk mengarah ke atas. Situasi seperti ini perlu perubahan. Tapi
bagaimana aku mengubah Ito, aku sendiri yang harus memutuskan caranya.
Kupungut kantung plastik itu dan
segera kususul Ito. Tidak peduli betapa sempitnya gang itu. Tidak peduli juga
kalau ini akan berakhir seperti kemarin dan kemarinnya lagi.
----
” Kau tidak menganggapku bodoh,
bukan ? Hingga kau tidak menyangka aku akan tahu bahwa kau ada di sini,”
kukatakan itu pada Ito setibanya aku di belakangnya.
Tangannya masih menyentuh gundukan
tanah di depannya. Kedua tangannya, dengan jari-jari terbuka seakan berharap
bisa menggenggam gundukan tanah pekuburan itu. Kuistirahatkan kedua kakiku
dengan ikut berlutut di samping Ito.
” Apa ibumu tahu kalau kali ini kau
datang tanpa menebarkan bunga di atas makamnya ?,” tanyaku sambil menyodorkan
kantung plastik berisi bunga makam yang tadi kupungut karena terlihat setengah
sengaja dijatuhkan.
Masih tidak bicara. Ada atau tanpa
Ito di sini rasanya sama saja. Hening. Mungkin ada atau tidak adanya aku di
sini sekarang juga sama saja bagi Ito. Aku berhak merasa begitu karena sedari
tadi hanya makam itu yang menjadi background kedua bola matanya.
Kini kedua tangannya meraba papan
yang tertancap tepat di ujung pusara. Dalam pandanganku sepertinya Ito sedang
mengeja dengan teramat pelan setiap huruf dan angka yang tertulis di sana. Sumirah,
lahir 28-9-1966, wafat 5-8-2007. Aku tidak tahan melihat pemandangan seperti
itu. Kualihkan pandanganku ke atas. Awan-awan terlihat berteman dengan Ito.
Kenapa tidak berubah menjadi mendung hitam saja sehingga Ito akan segera
bangkit dan itu akan menciptakan kesempatan untuk bicara dengannya. Kuhembuskan
nafas dengan agak berat. Kuletakkan kantung plastik itu di atas gundukan tanah
di depanku.
” Kudengar ibumu…,”
” Meninggal karena tidak percaya
putra satu-satunya tidak lulus ujian akhir SMA,” Ito memotong kalimatku, tapi
tatapan matanya hanya tertuju pada papan itu. ” Apa lagi yang ingin kau ketahui
? Akan kujawab pertanyaanmu dan setelah itu jangan pernah mengunjungiku lagi,”
Ito bicara.
” Sayangnya, aku ingin terus
mengunjungimu. Karena kita adalah sahabat. Kurasa kau tidak terlalu bodoh untuk
melupakan hal itu. Selama setahun ini aku mencoba mengingatkan hal itu padamu
kalau saja kau lupa,”
Angin yang berhembus di tempat ini
membuat suaraku agak sedikit kabur. Atau mungkin memang tidak ada keberanian
yang sesungguhnya untuk menghadapi Ito.
” Kita adalah sahabat sewaktu dulu
kita berbaris bersama setiap kali upacara bendera hari Senin. Kita juga adalah
sahabat sewaktu dulu kau dan aku berebut buku di perpustakaan karena hanya itu
buku satu-satunya. Aku juga ingat kita adalah sahabat ketika kita bertukar
bekal di sekolah. Meskipun kita adalah anak SMA, tapi aku selalu menyuruhmu
membawa bekal…,”
”…dan aku selalu suka bekal yang kau
bawa. Sebungkus nasi dengan sambal khas buatan ibumu ditambah dengan…,”
”…kurasa aku tidak lupa menyebutkan
kata’dulu’. Aku bukan lagi sahabatmu saat aku tahu bahwa ujian akhir SMA saja
aku tidak lulus,”
Ito semakin erat memegang papan
pusara itu. Kurasa itulah yang bisa menguatkannya sekarang. Mungkin saja ia
akan menangis meskipun tidak akan ditunjukkannya itu padaku.
Ito, apakah ini salahku ? Apakah aku
seharusnya meminta maaf sekarang seperti yang telah kurencanakan sejak setahun
yang lalu ? Tapi kau memperlakukanku seakan aku hanya punya setengah kesalahan.
Itu tidak cukup menguatkanku untuk meminta maaf padamu. Carilah setengah kesalahanku
lagi dan tunjukkan itu padaku agar aku segera meminta maaf.
” Kurasa tidak baik membiarkan ibumu
ada di tengah-tengah pembicaraan kita. Lebih baik kita mencari tempat yang
nyaman untuk bicara,” kukatakan itu dengan masih terus memandangi bahunya.
” Kau lah yang berada di
tengah-tengah antara aku dan ibuku. Aku tidak berharap kau ada di sini
sekarang,”
Ito mulai bicara banyak terhadapku.
Meski semuanya bernada penolakan dan rasa sakit hati.
” Kurasa kau berharap,” aku teringat
dengan kantung plastik yang terlihat setengah sengaja dijatuhkan tadi. Semua
orang juga tahu kalau bunga-bunga sejenis itu hanya akan terlihat indah di atas
pekuburan. Kini isi di dalamnya telah menghiasi gundukan tanah di depanku.
Pertanda bahwa masih ada orang yang mencintai jasad yang terkubur di dalamnya.
Ito bangkit. Ia mendahuluiku.
” Kau mau ke mana ?,” tanyaku sambil
terus mengikutinya.
” Apa kau pikir aku akan bermalam di
sini ?,”
” Bukan itu yang kumaksud. Hey,
bicaralah dengan nada yang agak enak untuk didengar,”
” Bukankah setiap kali kau datang ke
rumahku hanya untuk mendengarku bicara ?!,” tanya Ito masih dengan nada yang
sama. Dan juga langkah yang sama. Langkah yang cepat. Tapi akhirnya ia berhasil
membuatku tertinggal. Ito pasti saja sudah biasa berjalan di jalanan seperti
ini. Berbatu dan terkadang berlumpur.
--------
Aku masih mengamati
Teo. Kupikir Teo akan membutuhkanku jika pada akhirnya Ito masih saja menjadi
Ito setahun yang lalu. Ya, aku masih mengamati Teo. Teo yang melangkah seperti
Ito. Teo yang setiap kali terlihat melewati gang sempit berlumpur dengan diapit
dua buah tembok besar. Dan Teo yang tiap bergumam selalu tak lupa menyebut nama
Ito. Kulihat ia ingin sekali mengatakan pada Ito sebuah rahasia besar yang
pasti akan membuatnya kembali bersemangat. Menjadi Ito yang seperti dulu.
” Masalahnya adalah kebanyakan
orang memikirkan apa yang tidak mereka inginkan, dan mereka bertanya-tanya
mengapa hal-hal yang tidak mereka inginkan itu terus bermunculan,” katakanlah
itu, Teo. Katakan pada Ito !!!. Aku
dengar itu perkataan John Assaraf, seorang mantan anak jalanan tapi pada
akhirnya sekarang menjadi seorang pengarang buku terlaris internasional karena
ia enggan berpikir tentang hal buruk yang menimpa dirinya, tapi memikirkan masa
depan selanjutnya. Atau mungkin kau
ingin kucarikan kata bijak lainnya atau cerita dari seseorang yang mungkin bisa
membantumu memulihkan semangat seorang Ito ?
Baiklah, dengarkan apa yang akan
kuberikan padamu. Ini adalah cerita dari Bill Harris, seorang pemilik
perusahaan Centerpointe Research Institue yang telah memampukan ribuan orang di
seluruh dunia untuk hidup lebih bahagia dan bebas stress. Anggap saja Bill
Harris yang menceritakannya sendiri padamu karena mungkin kau akan lebih suka mendengarkannya
daripada aku yang harus bicara.
Saya mempunyai murid bernama
Robert, yang mengikuti kursus online yang saya selenggarakan, dan
melalui kursus ini ia dapat menghubungi saya melalui e-mail.
Robert seorang gay. Dalam e-mail
ia menceritakan realitas kelabu hidupnya. Di pekerjaan, rekan-rekan kerjanya
berkomplot melawannya. Situasi kerjanya sungguh menekan karena sikap jahat dari
rekan-rekannya. Ketika berjalan di jalanan, ia dilecehkan orang-orang
homofobia. Ia ingin menjadi seorang pelawak dan ketika ia melawak, semua orang
mencemoohkannya. Seluruh hidupnya adalah ketidakbahagiaan dan penderitaan, dan
semuanya terpusat pada serangan yang ia terima karena seorang gay.
Saya mulai mengajarkan bahwa ia
berfokus pada apa yang tidak ia inginkan. Saya menunjukkan e-mail yang telah ia
kirimkan dan berkata, ” Coba baca lagi. Lihatlah semua hal yang tidak Anda
inginkan, yang Anda ceritakan pada saya. Saya dapat melihat bahwa Anda sangat
bersemangat tentang hal ini. Dan ketika Anda memusatkan pikiran pada sesuatu
dengan penuh semangat, hal itu akan terjadi dengan lebih cepat lagi,”
Kemudian ia mulai merenungkan,
serta menerapkan pemusatan pikiran pada apa yang sungguh-sungguh ia inginkan.
Apa yang terjadi dalam enam minggu berikutnya sungguh-sungguh ajaib. Semua
orang di kantornya yang selama ini melecehkannya dipindah ke bagian lain,
berhenti bekerja, atau membiarkan dirinya apa adanya. Ia mulai menyukai
pekerjaannya. Ketika ia berjalan di jalan, tidak ada lagi orang yang
melecehkannya. Ketika ia melawak, ia mulai mendapatkan tepukan pujian, dan
tidak ada lagi orang yang mencemoohkannya.
Seluruh hidupnya berubah karena
ia berubah dari berfokus pada apa yang tidak ia inginkan, apa yang ia takutkan,
dan apa yang ia hindari, menjadi berfokus pada apa yang ia inginkan.
Teo, apa kau sudah mengerti apa
yang dimaksudkan Bill Harris ? Kalau kau sudah mengerti, katakan itu pada Ito. Sekarang
!!!
Ito sudah mulai mau bicara padaku. Di
rumahnya. Meski kadang beberapa jam terlewat tanpa kata-kata. Aku tidak tahu
apakah itu caranya untuk memberiku kesempatan bicara tanpa harus
mempersilakanku atau itu caranya untuk membuatku diam. Apakah itu caranya
memberitahuku kalau ia sedang tidak ingin diganggu. Tapi sampai kapan kata
‘sedang’ itu akan dipakai ?
” Ito, kau sudah membacanya ?,”
” Bill Harris ?,” tanyanya pelan.
Tidak seperti menggunakan nada yang selama ini ia gunakan.
” He..eh,” kami berdua lalu terdiam.
Aku hanya bisa menuliskannya. Tidak
bisa mengatakannya secara langsung. Karena Ito akan memotong kalimat demi
kalimat yang kusampaikan. Entah untuk sesuatu yang dianggapnya penting untuk
diucapkannya atau tidak. Dan kalimat-kalimat bijak itu akan kehilangan makna
jika terlalu banyak tanggapan yang diberikan. Cerita yang kutuliskan itu hanya
butuh anggukan.
” Lalu…bagaimana ?,” tanyaku
hati-hati. Berharap dengan begitu Ito akan merasa bertanggung jawab untuk
menjawab pertanyaanku.
” Apanya yang bagaimana ?,” Ito
melemparkan pertanyaan retoris padaku. Tapi apapun bentuk pertanyaan itu, pasti
bisa kujawab.
” Bagaimana dengan semangat hidupmu
? Kau sudah ingat di mana kau menaruhnya dulu ? Kau sudah ingat apa yang
seharusnya kau lakukan sejak setahun lalu ?,”
Terdiam. Ini menyenangkanku. Tidak
ada pembelaan diri. Tidak ada potongan kalimat yang menunggu lanjutan. Juga
tidak ada nada bicara yang penuh dengan penolakan dan sakit hati.
Ito menerawang jauh ke depan.
Kulihat kini banyak pemandangan yang menghiasi kedua bola matanya. Pohon pisang
yang hijau dan kumpulan bocah yang bermain sepak bola dengan bertelanjang kaki
di depan rumahnya. Dan kurasa jiwanya pun
kini tengah bermain bersama bocah-bocah itu. Karena aku merasa ia
mendapat tambahan pelajaran dari bocah-bocah itu. Mereka menggiring bola jauh
ke depan. Ke gawang lawan untuk mendapat sebuah kemenangan. Bukannya
menggiringnya ke gawang mereka sendiri. Karena itu akan menyebabkan sebuah
kekalahan. Ya…jauh ke depan.
Aku tersenyum sendiri meskipun aku
tidak tahu apa yang kupikirkan barusan sejalan dengan Ito ataukah tidak. Tapi
aku memang seharusnya tersenyum karena Ito juga akhirnya tersenyum.
” Kenapa kau dulu berniat meminta
maaf padaku ?,”
” Karena aku lulus…dan kau tidak,”
Ito tersenyum kecil.
” Kau tahu bagaimana caranya aku
bisa mengambil ujian paket C ?,”
------
Terima kasih, Teo. Kau sudah mau
mendengarkanku. Kau sudah mendengarkan HATI NURANIMU sendiri…Aku akan terus
menemanimu meskipun episode pertama dalam hidup Ito, episode kesedihan, telah
berakhir dan sekarang ia akan menjalani episode kedua dalam hidupnya…Ito pasti
juga punya HATI NURANI yang bisa kujadikan teman bicara jika ada saatnya kau
meninggalkanku sejenak untuk bicara dengan Ito. Kenalkan aku padanya, Teo…HATI
NURANI milik Ito…
Notes:
The first winner of short story competition (Provincial Level) that was held by Balai Bahasa Semarang ...
This is my first trophy when I was high school..
Enjoy it guys, give it your suggest so I can write better than this...
you can find the further info here: