Re-edit (17/04/2011 17:30)
Entah memori itu tersimpan sejak kapan. Tanpa permisi menjadi bagian dari file-file yang tidak bisa dilupakan oleh otakku. Ketika itu sepulangnya dari rumah seorang teman *mengerjakan proposal skripsi, saya mampir di sebuah pom bensin daerah Solo Balapan karena miris melihat anak panah yang hampir di penghujung huruf E merah. Mendung sudah menghias langit ketika itu dan hujan kecil mulai turun. Dengan estimasi waktu dari TKP ke rumah yang hanya 10 menit, saya putuskan akan melaju kencang tanpa harus memakai mantol. Tiba di simpang lima, hujan turun semakin deras. Dan entah kenapa hujan selalu dibarengi dengan kemacetan. Keduanya menyulut emosi. Tapi saya menahan diri untuk tidak menekan tombol klakson agar kendaraan di depan mempercepat laju kendarannya *hal itu karena saya sendiri tidak suka kalau diklakson orang ketika di jalan, karena itu saya juga tidak mengklakson.
Di depan saya adalah sebuah mobil dengan plat nomor Solo. Sedari tadi menekan klaksonnya sehingga suasana menjadi semakin bising. Saya hanya menunggu di atas motor dengan baju yang hampir basah kuyup. Sudah bisa dipastikan kalau nanti saya akan langsung terserang demam *tidak tahan dengan hawa dingin. Kesabaran menunggu saya terganggu oleh pikiran bahwa tugas-tugas kuliah saya menumpuk di rumah. Ya Tuhan, siapa sih yang membuat kemacetan ini ! Saya mulai emosi.
Ketika ada celah untuk memajukan kendaraan saya, saya pun mulai melaju pelan. Masih dengan sedikit emosi. Motor saya pun berhasil berada di samping mobil tadi. Rasa ingin tau saya membuat saya menengok ke depan mobil tadi untuk tahu sebenarnya apa yang membuat kemacetan. Dan ternyata, kedua bola mata saya yang berada di belakang kaca mata mendapati seorang bapak separuh baya dengan becaknya. Mengayun pelan dengan sekuat tenaga. Tidak bisa dibedakan lagi keringat yang muncul dan air hujan yang turun membasahi. Ya Tuhan, rasanya ingin sekali menangis...
Terbayang betapa bapak-bapak pengayuh becak itupun dalam hatinya tidak ingin membuat kemacetan di tengah hujan. Terbayang betapa dalam hatinya ia semakin merasa rendah diri dengan berani melintang di depan sebuah mobil mewah dengan becak tuanya. Terbayang betapa harga dirinya terlukai.
Dan otak saya pun dengan spontan merunut ke dalam jiwanya. Berapa rupiah yang ia hasilkan hari ini? Apakah cukup untuk makan hari ini? Terakhir harga beras yang saya tau sudah mencapai 5000 rupiah untuk kategori yang paling bawah. Bagaimana kalau ia demam? Adakah yang menggantikannya untuk mencari uang? Kelihatannya ia bukan seorang tukang becak "pemalas" yang hanya menunggu penumpang dengan sesekali tertidur. Dari tatapan matanya yang hanya kutangkap sekilas, saya tahu bahwa ia seorang laki-laki yang hebat....LEBIH HEBAT DARI AYAH SAYA...
dan seandainya beliau lah yang menjadi ayah saya, dengan bangganya saya akan berkata "Ayah saya adalah orang yang hebat. Pengemudi becak yang hebat"...
Mungkin anda berfikir saya berlebih-lebihan mengenai bapak pengemudi becak itu, tapi tidak bagi saya. Bagi saya, melihatnya adalah suatu pembelajaran yang tidak akan bisa saya lupakan. Bahwa di dunia ini, siapapun mereka, mereka adalah orang yang hebat. Ya, mereka yang bekerja keras, mereka yang berkorban untuk keluarganya dengan susah payah, mereka adalah orang-orang yang hebat...
Entah memori itu tersimpan sejak kapan. Tanpa permisi menjadi bagian dari file-file yang tidak bisa dilupakan oleh otakku. Ketika itu sepulangnya dari rumah seorang teman *mengerjakan proposal skripsi, saya mampir di sebuah pom bensin daerah Solo Balapan karena miris melihat anak panah yang hampir di penghujung huruf E merah. Mendung sudah menghias langit ketika itu dan hujan kecil mulai turun. Dengan estimasi waktu dari TKP ke rumah yang hanya 10 menit, saya putuskan akan melaju kencang tanpa harus memakai mantol. Tiba di simpang lima, hujan turun semakin deras. Dan entah kenapa hujan selalu dibarengi dengan kemacetan. Keduanya menyulut emosi. Tapi saya menahan diri untuk tidak menekan tombol klakson agar kendaraan di depan mempercepat laju kendarannya *hal itu karena saya sendiri tidak suka kalau diklakson orang ketika di jalan, karena itu saya juga tidak mengklakson.
Di depan saya adalah sebuah mobil dengan plat nomor Solo. Sedari tadi menekan klaksonnya sehingga suasana menjadi semakin bising. Saya hanya menunggu di atas motor dengan baju yang hampir basah kuyup. Sudah bisa dipastikan kalau nanti saya akan langsung terserang demam *tidak tahan dengan hawa dingin. Kesabaran menunggu saya terganggu oleh pikiran bahwa tugas-tugas kuliah saya menumpuk di rumah. Ya Tuhan, siapa sih yang membuat kemacetan ini ! Saya mulai emosi.
Ketika ada celah untuk memajukan kendaraan saya, saya pun mulai melaju pelan. Masih dengan sedikit emosi. Motor saya pun berhasil berada di samping mobil tadi. Rasa ingin tau saya membuat saya menengok ke depan mobil tadi untuk tahu sebenarnya apa yang membuat kemacetan. Dan ternyata, kedua bola mata saya yang berada di belakang kaca mata mendapati seorang bapak separuh baya dengan becaknya. Mengayun pelan dengan sekuat tenaga. Tidak bisa dibedakan lagi keringat yang muncul dan air hujan yang turun membasahi. Ya Tuhan, rasanya ingin sekali menangis...
Terbayang betapa bapak-bapak pengayuh becak itupun dalam hatinya tidak ingin membuat kemacetan di tengah hujan. Terbayang betapa dalam hatinya ia semakin merasa rendah diri dengan berani melintang di depan sebuah mobil mewah dengan becak tuanya. Terbayang betapa harga dirinya terlukai.
Dan otak saya pun dengan spontan merunut ke dalam jiwanya. Berapa rupiah yang ia hasilkan hari ini? Apakah cukup untuk makan hari ini? Terakhir harga beras yang saya tau sudah mencapai 5000 rupiah untuk kategori yang paling bawah. Bagaimana kalau ia demam? Adakah yang menggantikannya untuk mencari uang? Kelihatannya ia bukan seorang tukang becak "pemalas" yang hanya menunggu penumpang dengan sesekali tertidur. Dari tatapan matanya yang hanya kutangkap sekilas, saya tahu bahwa ia seorang laki-laki yang hebat....LEBIH HEBAT DARI AYAH SAYA...
dan seandainya beliau lah yang menjadi ayah saya, dengan bangganya saya akan berkata "Ayah saya adalah orang yang hebat. Pengemudi becak yang hebat"...
Mungkin anda berfikir saya berlebih-lebihan mengenai bapak pengemudi becak itu, tapi tidak bagi saya. Bagi saya, melihatnya adalah suatu pembelajaran yang tidak akan bisa saya lupakan. Bahwa di dunia ini, siapapun mereka, mereka adalah orang yang hebat. Ya, mereka yang bekerja keras, mereka yang berkorban untuk keluarganya dengan susah payah, mereka adalah orang-orang yang hebat...
 
 

0 komentar:
Post a Comment