Cinta, langit itu indah, tapi tak ingin menjadi indah di depanku.
Hari ini mendung untuk yang kesekian kali. Entah kenapa langit itu selalu menangis saat kusapa dengan bahasa kita. Aku tak akan bisa melihat bayangmu yang sedang melukis matahari di langit sore ini. Kadang, ingin kucorat-coret saja langit itu dengan tinta-tinta lukis milikmu. Kutulisi dengan kata-kata seperti para demonstran muda. Tapi ia terlalu tinggi untuk kuraih dengan tangga. Maka, hari ini kuputuskan untuk menyewa sayap bidadari yang dulu pernah berteman denganku. Tapi Cinta…aku tidak akan jatuh cinta pada bidadari. Tunggulah aku esok membangunkanmu dengan bunga yang kupetik dari langit. Jika langit memang sebegitu tak indah sehingga tak ada bunga, maka akan kubawa bunga dari bumi kita dan akan kutanam di sana. Sebulan lagi akan kubangunkan mimpimu kembali dan kuhadiahkan bunga itu untukmu.
Cinta,…kemarin, hari ini, dan mungkin esok, langit itu indah, tapi tak ingin terlihat indah di depanku. Cinta, aku sudah membuat sebuah puisi untuknya. Ia diam saja, Cinta. Tidak sepertimu yang tersenyum, tertawa, lalu menangis karena kau tak pernah bisa membuat puisi. Langit itu meninggalkan aku yang berdiri membacakan puisi itu untuknya. Tetangganya yang seorang matahari, menasehatiku agar kembali ke bumi kita. Menyerahkan puisi itu untukmu. Aku pun sejenak berpikir. Ia benar Cinta. Sudah satu minggu aku membujuk langit agar menjadi background yang indah di pernikahan kita nanti. Aku meninggalkanmu yang terus melihat langit yang dari sudutmu terlihat selalu biru. Dan kau melihatku selalu berjalan di belakang langit, tempat bidadari yang kusewa sayapnya itu tinggal. Tapi Cinta…aku tidak akan jatuh cinta pada bidadari.
Cinta…dengarlah percakapanku dengan langit yang kurekam untukmu agar kau juga membantuku membenci langit yang tak ingin terlihat indah di depanku. Hari itu setelah selesai mandi, aku berencana akan membuat format surat undangan pernikahan kita di toko langit, Cinta. Kudengar, di sini ada warna biru yang begitu indah. Cinta, biru itu milikmu setelah aku menyuruh langit untuk menandatangani surat perjanjian jual beli warna biru itu. Untuk itu, Cinta, aku harus bertemu dengan langit dan kuharap kau akan segera tahu apa yang kubicarakan dengan musuh mayaku itu lewat rekaman yang nantinya akan kuposkan. Tapi Cinta, maaf jika rekaman itu akan sedikit terlambat karena itu bukan pos kilat. Di sini pun tidak ada yang gratis, Cinta. Ada yang berbaik hati mengeposkan rekaman itu untukmu tanpa
aku harus mengeluarkan uang sedikit pun. Karena memang, Cinta, aku lupa membawa uang dari bumi kita karena aku terlalu bernafsu untuk berdiskusi dengan
langit. Ingin setiap hari kukatakan, setiap aku terbangun dari tidur panjangku, aku tidak akan jatuh cinta pada seorang pun di langit ini, Cinta.
- Berikan aku warna biru itu. Aku punya Cinta yang membuatku harus meminta biru itu darimu.
Kukatakan itu pada langit dengan sedikit campuran nada kesombongan. Yang aku dengar di langit ini penduduknya suka sekali menyombongkan diri. Karena mereka sudah terbiasa di atas dan membuat manusia selalu mendongak kalau ingin melihat betapa indahnya langit.
- Aku adalah langit. dan langit hanya punya dua warna. Biru dan hitam.
Langit menjawabku tanpa melihat mataku, Cinta. Apakah ia takut ? Apakah ia khawatir kalau tidak hanya penduduk langit yang mempunyai mata yang indah. Penduduk bumi pun juga berhak, bukan ? Aku tersenyum membayangkan semua itu. Aku berpikir, seharusnya Langit itu bertemu denganmu dan memandangmu lebih lama, Cinta. Agar ia takut dan menangis karena kau lah pemilik mata yang terindah.
- Lantas ?
- Aku adalah langit yang hanya punya dua warna. Dan kau adalah manusia yang datang dari bumi untuk meminta salah satu warna milikku untuk Cinta milikmu.
- Lantas ?
Kuulangi lagi pertanyaanku itu. Aku harap Langit akan marah menghadapi orang sepertiku dan segera memberikan birunya cuma-cuma.
- Kau tidak akan mendapat biru itu. Karena Tuhan hanya menciptakan biru itu untukku, bukan untukmu.
- Biru itu bukan untukku, tapi untuk Cinta yang tengah menungguku di bumi kami.
- Lantas ?
Pertanyaan langit itu sempat membuatku bingung, Cinta. Aku harus membuka seluruh file yang ada di otakku untuk mengingat kalau alasanku datang ke langit dengan sayap yang kusewa dari seorang bidadari adalah karena aku jatuh cinta padamu, Cinta.
- Kumohon, aku ingin melihat Cintaku bahagia jika aku pulang dari langit membawakan biru itu untuknya. Lagipula kau kau tak pernah menunjukkan biru itu padaku waktu aku ada di bumi. Kau tak ingin terlihat indah di depanku.
- Lantas ?
- Jadi, berikanlah dukunganmu untuk Cinta. Dan ini…
Kusodorkan surat perjanjian itu pada langit. Ia tak memandangnya sama sekali, Cinta. Aku mulai bingung, Cinta, karena memang aku tak merancang terlalu banyak kata-kata untuk bertemu dengan langit.
- Uangnya akan kumasukkan ke dalam rekening atas namamu. Dan kau bisa mengambilnya di bank manapun kau suka.
Aku ingat, Cinta, kalau di bumi kita inilah cara yang paling ampuh untuk membuat seseorang berubah pikiran. Hanya dengan rekening yang bisa sedikit diupayakan.
- Apa semua manusia di bumi kalian seperti kau ?
- Kurasa ya jika ini menyangkut Cinta.
- Apa semua manusia yang tengah jatuh cinta akan pergi ke langit dan memaksa memberikan warna biruku untuk Cintanya ?
Kurasa jika kujawab ya, Cinta, langit itu akan tersentuh. Ia akan segera sadar kalau ternyata Cinta itu indah dan memang seharusnya ditampakkan indah. Dan manusia adalah makhluk yang paling agung karena selalu bersedia berjuang demi Cinta. Maka kujawab saja’ya’.
- Ya.
Langit itu diam sejenak, Cinta. Tak tahu apa ia sedang mengotak-atik kata untuk menjawab pernyataanku. Tapi ia diam terlalu lama, Cinta. Hingga aku bosan melihatnya memandang ke depan dan membuang nafasnya percuma, tanpa memunculkan kata atau gemuruh yang biasanya kita dengar saat kita melihat langit yang tak ingin terlihat indah di depan kita.
Maka aku pun pulang, Cinta, ke penginapan di mana aku tinggal sementara. Karena aku akan pulang, Cinta. Ke bumi milik kita. Di sini semuanya memasang muka bahagia, kecuali langit. Bahkan aku diperbolehkan menginap tanpa harus membayar pada mereka. Mungkin langit akan marah, Cinta, kalau ia tahu aku menginap di dekat rumahnya. Tapi Cinta, aku tak akan jatuh cinta padanya.
Di kamarku, Cinta, aku ingin langsung merebahkan diri dan membayangkan wajahmu yang tengah melukis matahari karena kau sungguh menyukai matahari. Nanti, Cinta, aku akan meminta foto dan biodata matahari agar bisa kau simpan. Sebagai kenang-kenangan dariku yang pernah pergi ke langit untukmu. Tapi, Cinta…aku tak bisa segera terpejam saat kulihat sebuah amplop biru yang tergeletak di atas meja lampu di kamarku. Tertulis nama Langit di sampul depannya. Entah kapan langit itu mengirimkan surat itu untukku yang sebentar lagi akan kubacakan untukmu, Cinta. Sepertinya ia begitu mantap mengirimkan surat itu untukku. Tintanya begitu hitam pekat. Bahkan lebih pekat dari tinta lukismu, Cinta. Mungkin aku akan malu padanya jika saja aku mewujudkan keinginanku sebelum aku pergi ke sini, Cinta. Keinginanku untuk mencorat-coret langit yang karena tak ingin terlihat indah di depanku. Keinginanku yang begitu kuat sehingga aku lupa membawa uang ke sini dan malah membawa serta sekaleng tinta lukis milikmu, Cinta. Untuk itu aku mohon maaf, Cinta, jika untuk sementara kau tak akan bisa melukis matahari yang gerhana dengan warna hitam.
Seperti janjiku tadi, Cinta, aku akan membacakan surat itu untukmu.
Aku diam saat di depanmu dan aku pun akan diam saat di belakangmu. Aku adalah langit yang hanya berteman dengan sepi, bukan dengan matahari. Untuk itu kau boleh mengambil matahari untuk Cinta milikmu yang hanya seorang manusia saja. Aku bertaruh kau juga tak akan sanggup membujuk matahari karena ia seperti aku. Tapi langit hanya berteman dengan sepi, bukan dengan matahari.
Aku pernah mendengar tentangmu sebelum kau pergi ke sini. Juga tentang bidadari yang sekarang hanya berdiri di depan rumahnya menghitung udara. Kau tidak pernah merasa kasihan pada bidadari itu, maka untuk apa aku kasihan padamu ?
Aku adalah langit yang hanya punya dua warna. Biru dan hitam. Lalu jika kau ambil biru itu dariku untuk Cinta milikmu yang hanya seorang manusia saja, kenapa kau harus mengeluh saat aku tak ingin terlihat indah di depanmu ? Langit hanya indah dengan biru yang tadi kau minta dariku. Aku tak ingin terlihat indah di depanmu karena aku tak ingin kau ambil biru itu dariku. Tapi rupanya Cintamu dari sudutnya melihatku sebagai langit yang indah karena biru. Lalu, apa kubiarkan saja Cinta milikmu yang hanya seorang manusia saja memiliki biru milikku, atau kubiarkan saja Cinta milikmu yang hanya seorang manusia saja menangis karena aku berpikir bahwa Cinta bukan saja yang selalu melukis matahari. Ada pula Cinta –Cinta lain yang berbicara pada air di pantai sana, juga yang belajar menulis puisi di depan kaca. Mereka juga berhak atas biru milikku. Untuk itu tak akan kuserahkan biruku untuk Cinta milikmu yang hanya seorang manusia saja dan membuat Cinta-cinta milikku menangis kehilangan biru.
Aku tertegun, Cinta. Aku merasa seperti manusia yang seharusnya tak punya nyawa. Langit itu membuatku tertegun, Cinta. Dan tiba-tiba membuatku tak ingin lekas pulang ke bumi milikmu, bukan milik kita. Karena aku tak ingin lagi memiliki bumi sepertimu, Cinta, yang hanya seorang manusia saja.
Hari ini aku akan pulang, Cinta. Kubatalkan niatku meminta jasa post. Hanya untuk menyerahkan diaryku padamu. Rekaman itu kutulis dalam diaryku, Cinta. Bayanganku akan terus memanggilmu Cinta dan menemanimu melukis matahari di depan pantai bumi. Tapi aku lah yang akan terus menemani langit membuat puisi. Aku tidak jatuh cinta pada bidadari yang sayapnya kusewa, Cinta. Namun, aku jatuh cinta pada langit yang biru dan tak ingin terlihat indah di depanku.
Cinta, aku lupa mengatakan kepadamu kalau langit itu adalah seorang wanita sepertimu.

2 komentar:
panjang sekali, nona mawar,
trlebih bany kata yg tidak ak suka, -c*nta-.
kalimatny trlalu ribet untku :p
tp, memang, topik ini slalu menarik bnyak org, cukup ampuh untuk menanamkan ide.
ini mas ray yak?
ahhahha...makasih ya kritiknya..itu memang cerpen buatanku waktu SMA, jadi harap maklum yak kalau memang begitu adanya.
kuliah ini belum bikin cerpen satu biji pun :D
Post a Comment