Tuesday, March 11, 2014

TRAFFIC LIGHT (OFF)

Posting on Rosania Rossa di Tuesday, March 11, 2014 0 komentar
Beberapa hari yang lalu sepulang dari kegiatan mengajar, saya melewati jalan raya di sekitaran Manggarai dan Pasar Rumput. Ketika tiba di perempatan jalan, lampu merah menyala. Saya dong motor pertama yang berhenti disitu. Lalu disusul mobil-mobil di belakang saya. Beberapa saat kemudian banyak motor yang berhenti di dekat saya. Saya akui memang lampu merahnya lama. Mungkin karena itu perempatan. Lalu…..ngeeeeng. Satu motor di dekat saya menerabas lampu merah. Dan kemudian ngeeeeng…ngeeeeng…ngeeeeng. Yang lainpun mengikuti. Sampai-sampai tinggal motor saya yang mengonggok disitu. Taksi di belakang saya pun mulai membunyikan klakson. Menyuruh saya minggir sedikit. Dan ketika saya melirik ke atas, yaaak masih lampu merah. Daripada ribut, saya mending minggir sedikit.
Rata-rata memang para pengendara motor yang begitu jeli melihat peluang kabur dari lampu merah. Ketika ada seorang leader yang memulainya, maka follower di belakangnya dengan semangat akan mengikuti. Budaya malu ketika melanggar peraturan itu hilang sama sekali ketika banyak orang yang melakukan pelanggaran tersebut.
Hal tersebut berbanding terbalik sekali dengan yang saya alami di Solo, tempat kelahiran saya. Ketika saya pulang kampung, saya sengaja menyempatkan diri untuk keliling Solo memakai sepeda motor. Di setiap lampu merah, semua kendaraan berhenti di belakang zebra cross dan tidak akan bergerak sebelum lampu hijau menyala. Tidak terkecuali bus umum dan angkot yang biasanya terkenal ugal-ugalan.
Waktu itu saya berfikir mengapa bisa seperti itu. Ternyata bukan saya saja yang merasa terganggu dengan ulah pengendara motor di Jakarta. Terutama ketika sedang lampu merah. Teman saya pun gerah dan dia bertanya pada saya apakah hal tersebut berhubungan dengan tingkat pendidikan. Saya jawab tidak karena orang ngga sekolah pun tahu kalau lampu merah itu tandanya berhenti.
Sebenarnya seberapa penting sih melanggar lampu merah itu sehingga bisa dikategorikan sebagai sebuah masalah? Buat saya sih penting pakai banget. Karena itu berhubungan dengan keselamatan seseorang. Lebih dari itu, itu adalah moral. Rasa malu untuk melanggar peraturan itu seharusnya tertanam di jiwa setiap orang. Right?

Saturday, January 18, 2014

BAPAK (TIDAK) PULANG

Posting on Rosania Rossa di Saturday, January 18, 2014 0 komentar
Asap cerobong kereta itu tidak mengurai di stasiunku. Rangkaian besi tua beroda berlalu begitu saja. Hanya raungan bisingnya yang terngiang di telinga. Bapak tidak naik kereta ini. Atau Bapak tertidur dan turun di stasiun berikutnya? Haruskah kususul kesana? Atau kutunggu saja disini? Ah bapak, harus kuapakan rinduku ini.
Bapak memang tidak pernah berpesan untuk menunggunya di stasiun. Tapi aku khawatir bapak akan lupa jalan pulang. Selama sepuluh tahun ini saja bapak lupa kalau seharusnya turun di stasiun ini, sehingga selama sepuluh tahun pula aku tidak pernah berjumpa dengan bapak. Ah bapak, selama ini engkau turun di stasiun mana?
Bapak, lihatlah, aku membawa dua buah payung. Berjaga kalau-kalau mendung hitam di atas tidak lagi bertahan dan berubah menjadi air hujan. Ayolah bapak, kenapa keretamu tidak segera datang. Kalau hujan terlalu deras, aku takut tidak akan segera bisa mengantarmu pulang ke rumah kita. Payungnya kecil, bapak. Nanti kita akan tetap basah kuyup dan istrimu akan memarahi suami dan anaknya karena hal itu. Tentu saja itu karena ia menyanyangi kita. Kalau nanti hujan terlalu deras, kuharap atap besi kereta tidak berlubang sehingga perjalananmu tidak terganggu.
Apa engkau takut pulang? Lihatlah, anakmu ini mendapat beasiswa di perguruan tinggi. Aku tidak akan meminta sepeserpun uang darimu. Juga ada yang berbaik hati menampung dagangan sayur emak. Emak selalu bisa membeli minyak dan beras dengan uangnya sendiri. Sesekali aku dan adikku membantu mengumpulkan receh dengan berjualan gorengan di minggu pagi. Adikku sudah berumur 15 tahun. Terakhir kali kau melihatnya waktu ia masih belum belum bisa mengusap ingusnya sendiri. Sekarang ia adalah seorang pemuda yang tampan. Dari sudut pandangku tentunya. Tapi kau tentu akan setuju. Ia kan anakmu juga, Bapak.
Sebenarnya apa yang kau lakukan di kota? Kenapa selama sepuluh tahun ini kau tidak pernah menanyakan apakah aku makan dengan baik atau tidak. Setidaknya tanyakan padaku apa aku masih menganggapmu sebagai seorang bapak. Sebenarnya aku membencimu. Sekeras apapun aku mencari jawaban atas kepergianmu, selalu berakhir dengan kemungkinan bahwa mungkin kau sudah bosan hidup susah di sini. Itu yang membuatku iba padamu. Aku pun juga bosan, Bapak. Tapi aku sudah berjanji pada emak akan menjadi orang yang lebih baik dari bapakku sendiri.
Kalau saja dulu aku mengantar kepergianmu ke stasiun, mungkin aku akan tahu kemana arahmu pergi. Tapi aku dulu sibuk mengusap air mata emak setelah kau membuatnya menangis. Kau tahu sendiri kan, wanita kalau sudah menangis akan sulit sekali berhentinya. Belum lagi membereskan gelas-gelas yang kau lempar dan akhirnya pecah. Adikku juga sibuk sendiri meminta emak yang sedang memangis untuk membuatkannya susu. Dulu, kita masih bisa membeli susu meski kau harus menampar emak dulu sebelum memberinya uang. Kalau aku mengingat kejadian hari itu, aku menyesal karena sudah membereskan potongan-potongan kaca dari gelas yang kau pecahkan. Harusnya kubiarkan saja agar kakimu terhalang saat akan melangkah pergi. Bahkan kakimu seharusnya terluka terkena pecahan kaca. Dan kau hanya akan duduk di kursi tua di depan rumah. Tidak langsung pergi. Tapi menghela nafas dalam-dalam dan berfikir dengan jernih. Lalu menyadari bahwa yang kau lakukan tadi adalah sesuatu yang tidak bisa membuat anakmu bangga padamu. Kalau sudah begitu, aku akan membawakan perban untuk kakimu. Meski sebelumnya kau telah menampar emak.
---ooo---
Aku datang lagi, Bapak. Kalau kau tahu bahwa setiap sore aku datang kesini, mungkin kau akan kesal. Bagaimana tidak, kau akan malu kalau tahu bahwa orang-orang di stasiun ini paham kenapa aku disini. Aku bilang pada mereka bahwa aku menunggu bapakku pulang kerja dari kota. Tapi mereka mengatakan bahwa bapakku sudah lupa padaku. Sebenarnya itu benar. Tapi aku selalu kesal kalau mereka mengatakannya padaku. Kenapa mereka tidak membiarkanku sadar dengan sendirinya. Aku tidak suka mereka memojokkanku dengan fakta yang tidak ingin aku dengar. Tolong marahi mereka, Bapak [!].
Sebuah kereta tua berhenti di hadapanku. Ratusan manusia menyeruak dari balik ruangan besi. Lelaku itu…bukan. Atau dia…juga bukan. Pria yang memakai jas itu? Kurasa bukan. Ia terlalu gemuk. Kau kan kurus, Bapak. Tapi bisa saja sekarang kau gemuk. Ah tapi tidak, pria itu terlalu pendek. Lalu, apa lelaki itu? Tunggu, dia menggendong anak. Tentu saja bukan. Ada yang salah dengan otakku. Aku bisa dimarahi istrinya kalau tiba-tiba mendekatinya dan memanggilnya bapak. Lalu sebenarnya kau di sebelah mana? Aku sama sekali tidak bisa membayangkan seperti apa kau sekarang. Sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk perlahan-lahan melupakan raut wajahmu. Itu karena kita belum sempat berfoto sebelum kau pergi. Hingga aku hanya duduk di bangku stasiun ini. Memilah-milah orang yang keluar dari balik rangkaian besi tua. Berharap kau ada di antara mereka. Tidak peduli kau masih kurus atau sudah gemuk, tidak peduli kau menjadi lelaki tua yang tampan atau pria kumuh yang bau, aku akan langsung memelukmu.
Banyak sekali hal yang ingin kuceritakan padamu, Bapak. Aku ingin kita bisa saling berbagi seperti sebuah keluarga. Di kepalaku ini tersimpan cerita-cerita yang tentu akan asyik kalau kita membahasnya berdua dan dadaku terasa sempit jika aku berusaha untuk menyimpannya sendiri. Kemarin aku memergoki adikku merokok di perempatan gang bersama teman-teman sekolahnya. Betapa aku ingin sekali menamparnya karena aku tidak suka ia menjadi sepertimu. Dan aku ingin sekali menceritakannya padamu. Melihat ekspresimu dan menduga-duga apa yang akan kau lakukan terhadap adikku. Apakah kau akan marah, kecewa atau malah akan memakluminya karena merokok adalah urusan lelaki dan sebagai wanita aku tidak akan bisa memahaminya.
Aku marah karena tidak bisa seperti putri orang lain. Kulihat mereka hampir tiap sore bercengkerama dengan bapak mereka di teras rumah. Aku sempat melihat juga salah satu dari mereka dimarahi bapaknya karena pulang terlalu malam. Betapa aku ingin kau memarahiku juga, Bapak. Aku tidak pernah pulang terlalu malam, tapi kau bisa memarahiku untuk hal-hal sepele, seperti lupa menaruh kunci, ketiduran di sekolah, atau apalah. Carilah alasan untuk memarahiku. Pulanglah untuk bisa memarahiku.
Kau tidak ingin melihat hamparan sawah di sepanjang jalan menuju rumah kita? Aku selalu melihat kota-kota besar dari televisi. Di sana tidak ada sawah. Pulanglah, Bapak. Aku akan membuatmu merasa kalau tempat ini jauh lebih damai.
Terkadang aku berpikir bahwa mungkin saja kau sudah tiada. Terkena penyakit kronis atau karena kecelakaan di jalan raya. Tentu saja bukan karena terlalu merindukan keluargamu lantas kau sakit dan meninggal. Itu akan lucu sekali. Karena kau bisa saja pulang ke sini. Kami tidak pernah kemana-mana. Rumah kita yang dulu hanya dipermak sedikit dengan cat baru yang tidak terlalu mahal kubeli. Tapi sepertinya kau masih hidup. Keyakinanku masih demikian.
Aku tidak tahu apakah emak sudah memaafkanmu. Emak tidak pernah menyebut namamu selama sepuluh tahun ini. Meskipun begitu, bukan berarti Emak membencimu. Mungkin Ia hanya tidak siap menerima fakta bahwa bagaimanapun kau adalah bapakku. Meski kau kerapkali menamparnya. Bukankah seharusnya Emak yang meninggalkanmu? Kenapa egomu tinggi sekali sehingga kau yang pergi duluan meninggalkan kami. Harusnya kami yang mengusirmu. Membiarkanmu hidup di jalanan dan mencabut nama belakang yang kau berikan padaku dan adikku. 
Aku masih tidak tahu kenapa kau memilih meninggalkan emak. Saat itu kau masih bisa memilih untuk tetap tinggal demi aku dan adikku. Aku juga tidak tahu kenapa aku masih menunggumu di stasiun tua, menunggu kereta yang tak kalah tua. Ah Bapak, meskipun aku menyadari bahwa kau memang sudah melupakan kami, tahun ini menjadi tahun kesebelas untukku, menghabiskan hari-hariku menunggumu di stasiun, menyambut kepulanganmu yang membawa sekardus penuh oleh-oleh dari kota. Kukira.

Tuesday, July 2, 2013

MINOR

Posting on Rosania Rossa di Tuesday, July 02, 2013 0 komentar
Sedih. Getar. Sunyi. Melodi yang sebenarnya indah, tetapi hanya telinga yang menikmatinya. Kedua mataku tersiksa dengan apa yang kulihat. Seorang bocah kecil dengan gitar yang dipeluknya. Bahunya memandangiku. Mengatakan kalau aku hanya perlu mendengarkan.

Semakin sedih. Semakin bergetar. Semakin sunyi. Melodi yang semakin terdengar indah, tetapi telinga terlalu menikmatinya dan tidak menyadari bahwa mata ini lama-lama terpejam. Seperti tak ingin memandang bocah kecil dengan gitar yang dipeluknya. Bahwa bahunya harusnya mengatakan sejak awal kalau tidak seharusnya aku terpaku pada sendi-sendi tulang belakang miliknya.

Bahkan ketika semuanya telah tertidur, namamu tidak akan pernah disebut. Tidak akan pernah disebut. Bahunya bergetar ketika ia melafalkan lirik dengan terbata-bata sambil memeluk gitarnya. Tetapi ada yang janggal. Ia terkekeh. Kurasa aku tidak salah dengar. Itu suara tawa. Tunggu, apakah ia tidak memahami isi liriknya? Kurasa penggalan lirik itu sudah cukup sedih agar dia tau bahwa seharusnya ia menangis. Atau setidaknya bersenandung sendu. Bukan tertawa. Ini tidak benar. Benar-benar tidak benar. Dan apa? Kau menyanyikan lagu orang dewasa.

Hujan turun itu bukan salahmu. Bukan salahmu. Dengar, ia tertawa lagi. Bahkan cenderung teriak kegirangan. Itu lirik yang sedih. Apa kau tidak tau bagaimana caranya menangis? Apa kau ingin aku mengajarimu? Aku ahli dalam hal itu. Bocah kecil, kau merusak lagunya. Kalau kau ingin tertawa, tidak seharusnya kau memainkan melodi minor [!].

Dan seharusnya sedari tadi sudah kututup jendela kamarku. Tidak lagi mengakhiri hari-hariku dengan menikmati permainan gitarnya yang kurasa akan sia-sia jika itu tidak berhasil membuat orang lain menangis setelah mendengarkannya. Hanya karena dikombinasikan dengan nyanyian yang buruk. Sungguh buruk. Seharusnya hanya perlu memainkan gitarku, lalu memutuskan apakah permainanku tidak lebih baik dari bocah kecil itu atau sebaliknya. Setelah aku mengamatinya beberapa minggu ini, sebaiknya aku mencoba memainkan lagu itu. Lagu yang dinyanyikan oleh bocah kecil itu dengan sangat tidak benar.

-------
Pagi hari ini masih seperti pagi hari kemarin. Sam dengan radionya menciptakan kebisingan yang tidak kuinginkan.
  Selamat pagi Tuan Sam, “ sapa seorang wanita paruh baya sambil tersenyum dan memamerkan kerutan-kerutan yang belum begitu tampak di wajahnya.
  Oh Nyonya, apa yang membuat Anda pagi-pagi kesini? Anda membutuhkan beberapa bantuan?,”
Sam yang tengah duduk di depan losmennya spontan berdiri. Ia tidak menyadari kalau itu hanya akan membuat orang tahu kalau Ia sebenarnya adalah pria tua yang pendek.
  Sepertinya begitu. Saya harus bertemu dengan salah satu penyewa losmen Anda,” ucap wanita itu  dengan ramah
  Kalau saya boleh tahu, dengan siapa Anda ingin bicara?,” Sam tak mau kalah ramah.
  Anda tahu, saya baru pindah. Jadi saya juga tidak tahu saya ingin bicara dengan siapa. Hanya saja yang menyewa losmen di depan kamar putraku itu..,” tunjuknya ke sudut atas bangunan tua di depannya.
  Kau mengatakan yang di pojok itu?,”
Wanita itu mengangguk.
  Kau beruntung, dia sedang ada di dalam. Hanya saja berhati-hatilah saat bicara dengannya, Nyonya. Dia sedikit, maksudku, terlalu sensitif. Disini dia hanya berteman dengan gitarnya. Kadang dia menjadi terlalu berisik. Kerabatnya mengatakan kalau orang tuanya meninggal beberapa bulan lalu karena kecelakaan dan itu membuatnya...” Kalimatnya terpotong
  Tuan Sam, apa saya boleh masuk sekarang?,” Wanita itu seperti tidak ingin menikmati udara dingin di luar dengan seorang pria tua yang hanya berteman dengan radio yang tak kalah tua.
  Oh tentu saja. Memang tidak banyak yang mau mendengarkanku melantur,” Lelaki gendut itu tertawa. Memamerkan giginya yang besar dan kuning karena nikotin. Mungkin ia ingin orang lain tahu kalau ingin memberinya sesuatu, lebih baik itu sebungkus rokok.
  Kau bisa naik ke lantai dua lewat sini, Nyonya,” Ia masih saja berusaha ramah
  Terimakasih Tuan Sam, kau baik sekali. Lain kali aku akan mendengarkan ceritamu,”
  Sama-sama,” balasnya. Wanita itu sudah menaiki tangga ,” Dan lain kali kau bisa memanggilku Sam saja,” teriak Sam sambil terkekeh.

-------
Kudengar seseorang mengetuk pintu. Ingatanku yang buruk mulai mempermainkanku. Aku tidak ingat apa aku disini mempunyai teman yang akan mengetuk pintuku pagi-pagi begini. Dan aku tidak punya cukup uang untuk membeli makanan pesan antar. Ataukah itu tukang pos yang mengirimkanku tagihan kartu kredit? Kalau iya, aku tidak cukup berani untuk melompat dari jendela. Jadi mungkin aku hanya perlu membuka pintunya.
       “   Siapa?,”
  Kami sekeluarga baru pindah, jadi aku berinisiatif kesini,” jawab seorang wanita.
Dari suaranya kukira Ia paruh baya. Seorang wanita paruh baya. Bukan seorang teman yang tidak kuingat, bukan tukang pesan antar makanan yang bau sepatunya saja membuatku lapar, apalagi tukang pos yang membuatku ingin melompat keluar dari jendela.
Pintu hanya kubuka sedikit. Cukup untuk melihat wanita itu menggunakan sepatu merk apa.
  Maaf mungkin kau agak sedikit terganggu,”
  Kau merasa, Nyonya?,” jawabku dari balik pintu.
Aku tidak tahu apakah aku harus mengenal wanita itu. Agak sedikit aneh ketika seorang lelaki berumur antar 25-30 an berurusan dengan wanita paruh baya. Ketika orang menganggapnya ibumu, ia tidak setua itu. Ketika orang menyangka ia kekasihmu, saat itu juga kau akan mulai dikasihani.
  Bukan olehku, tapi putraku,”
  Putra Anda?,” Kubuka pintu kamarku sedikit lebar. Cukup untuk mengetahui bahwa Nyonya itu hanya setinggi bahuku.
  Iya,” Ia menunjuk jendela yang tepat menghadap jendela kamarku.
  Ia agak berisik, bukan?,” Pandanganku mengikuti arah telunjuknya
   Bocah itu?,”

-------
Ia sangat pintar bermain gitar dan berteriak. Ia tidak punya kemampuan lain. Bahkan Ia tidak bisa menangis. Ia hanya memainkan lagu-lagu yang bernada minor. Lagu-lagu dinyanyikannya dengan sangat buruk. Ia juga tidak suka menatap matahari. Tunggu, khusus hal yang satu itu kami mempunyai kemiripan. Ia suka sekali bermain air. Kukira itu jawaban kenapa terkadang beberapa jam aku tidak mendengar permainan gitar yang indah dengan lagu yang buruk. Kujamin Ia sedang sibuk menumpahkan semua air dari bak.  Tetapi bagaimana bisa ada bocah seperti itu?
Itu karena putraku seorang penderita autis,”
Suara wanita itu terasa bergetar ketika Ia mengucapkannya. Apa Ia berharap suaraku akan bergetar ketika menanggapinya? Aku sendiri tidak tahu karena aku lebih memilih untuk diam dan memberinya isyarat untuk masuk ke dalam. Sesuai prediksiku, Ia akan bercerita lebih panjang setelah kupersilahkan masuk. Aku tidak ingin tahu tentang bocah kecil itu karena aku takut kalau aku akan terlalu peduli nantinya. Apapun itu, wanita di depanku sudah terlanjur memberitahuku banyak hal. Bahwa putranya adalah seorang bocah yang menyenangkan. Aku membayangkan betapa senangnya wanita itu karena anaknya tidak pernah menangis. Bahwa putranya mempunyai bakat yang luar biasa dalam permainan gitar.
Sebagai ibunya, aku sendiri tidak pernah tahu kenapa putraku hanya memainkan lagu-lagu bernada minor. Tetapi anehnya ia bernyanyi dengan sangat gembira. Ia bahkan seringkali bernyanyi sambil berteriak. Mungkin ia ingin aku tidak tertidur ketika mendengarkannya bermain musik. Apapun itu, ia membuat rumah kami begitu hidup. Dengan segala kekurangannya, ia tidak ingin kami merasa murung dan membencinya. Dalam hatinya mungkin ada perasaan sedih, tapi ia tak pernah mengungkapkannya. Orang lain mengatakan bahwa aku pasti senang karena putraku tidak pernah menangis. Kau tahu, terkadang orang tua berhenti menyukai anaknya yang selalu menangis. Tapi, apa kau tahu betapa inginnya aku melihat putraku menangis?,”
Aku harus menjawab apa, Nyonya. Kau memberitahuku terlalu banyak hal.
Aku juga menginginkannya pulang sekolah bersama teman-teman sebayanya. Berjalan dan bergandengan tangan. Sesekali melempari pohon mangga milik tetangga...,” wanita itu tersenyum hambar, “ Tidak, itu akan menimbulkan masalah,” Sekarang ia tersenyum geli, “ Kurasa aku sudah terlalu banyak bicara. Mungkin putraku sekarang membutuhkanku. Aku ikut sedih atas orangtuamu. Tuan Sam mengatakan bahwa...,”
Tidak apa-apa. Lagipula mereka bukan orangtua kandungku,” Aku memotong kalimatnya. Jika tidak ia akan memaksaku memberitahunya terlalu banyak hal juga.
Begitu? Baiklah, kalau kau butuh apa-apa kau tahu aku selalu berada di rumah,” wanita itu memberikan isyarat kalau ia akan segera pulang.
“ Kurasa tidak perlu, “ sahutku cepat
Baiklah, “ Ia permisi pulang. Baru beberapa langkah Ia kembali menoleh, “ Sekali lagi maafkan putraku,” Ia tersenyum simpul dan bergegas menuruni tangga. Pelan-pelan saja, Nyonya. Putramu belum akan bermain air.

Rekaman pembicaraanku dua jam yang lalu itu membuatku termenung selama dua jam ini di depan jendela. Kembali terpaku pada bocah kecil yang terlalu bahagia.
Tidak apa-apa. Lagipula mereka bukan orang tua kandungku,” Aku tidak tahu kenapa aku mengatakannya. Mereka yang bukan orangtuaku lebih berharga dari seseorang yang melahirkanku. Mereka yang memberiku nama tidak lebih berharga dari mereka yang memberiku kehidupan. Mereka memberiku terlalu banyak ruang untuk membenci.
Kau hebat, bocah kecil. Dengan keterbatasanmu, kau masih bisa membuat orang lain bahagia. Tapi dengan semua hal yang kumiliki, aku bahkan tidak mampu membuat orang lain tersenyum. Aku bahkan tidak tahu caranya berteman. Aku hanya menyapa mereka beberapa kali dan membiarkan mereka bergunjing tentangku. Bahwa aku hanya seorang anak angkat yang orangtua angkatnya telah meninggal dan bahkan orangtua kandungku tidak menyambangi pusara mereka, meminta izin untuk mengajakku pulang. Bahwa aku selamanya akan seorang diri dan tidak ada yang menawarkanku bantuan untuk membuatku tahu bagaimana cara tertawa. Sehingga aku tidak merasa berdosa ketika mereka pun tidak bisa kubuat tertawa.

-------
Han tengah menggotong kursi untuk dinaikinya.
   Aku mengenal seseorang yang seperti kau harapkan, tapi aku tidak yakin dia akan membuat para tamu tidak beranjak pergi dari kursi mereka,” kataku sambil memainkan gitar.
  Apa maksudmu?,” Han bertanya sambil memasang bohlam lampu.
Sudah kukatakan padanya kafenya sudah terang. Satu bohlam lampu lagi hanya akan membuat kafenya seperti stadium olahraga mini.  
   Kau tahu, ia sedikit..Maksudku, ia masih kecil dan mungkin ia akan gugup tampil di depan banyak orang,” permainan gitarku terhenti.
  Kau bawa saja dulu ia kemari. Aku yang memutuskan. Aku tahu mana yang berbakat dan mana yang tidak,” katanya sambil menyalakan sebatang rokok.
Dan benar, kafenya menjadi terlalu terang. Han tidak mendengarkanku. Tapi itu tidak membuatku kecewa. Toh Ia hanya seorang pria tua yang tidak terlalu kukenal dengan kafe kecilnya yang beberapa bulan ini memberiku cukup uang karena gitarku.
   Baiklah, kita lihat saja nanti,”
Apa yang kupikirkan? Apa aku ingin ia terkenal? Sebaik itukah aku? Ingin agar banyak orang tahu kalau bocah seperti dia masih berhak mendapat tepuk tangan dengan bakatnya itu. Atau sejahat inikah aku? Ingin agar ia tahu kalau ia tidak pantas menjadi musisi. Hanya karena ia selalu tertawa saat bernyanyi dengan nada-nada minor [!]

-------
Hey bocah, hari ini aku akan melihatmu bermain gitar. Tentu aku akan melihat wajahmu juga, tidak hanya bahumu.
   Kemana bocah itu? Sudah jam berapa ini? Kau tahu kalau ini semua tidak gratis. Kau yakin tidak salah memberitahu jam dan tempatnya?,” Han mulai tidak sabar.
  Tunggulah, sebentar lagi ia pasti datang. Ia punya seorang ibu yang tidak sebodoh itu hingga lupa kalau putranya harus bermain gitar disini malam ini,”
  Apa? Tidak bodoh katamu? Ini sudah 30 menit. Kemana dia?,”

Lihat, kita sudah terlambat. Ibu sudah bilang kalau kita bisa main air lain kali,”
Bocah kecil itu hanya tersenyum memamerkan giginya. Ia berusaha memberitahukan pada ibunya kalau ia puas sekali bermain air. Nyonya itu selesai mengunci pintu ketika ia tiba-tiba teringat dompetnya masih ada di dalam.
Keanu, tunggulah disini sebentar bersama gitarmu. Ibu tidak akan lama” kata Nyonya itu seraya membuka pintu lagi.
Bocah itu duduk di tangga teras. Memandangi jalanan beraspal yang terlalu luas untuk bermain kelereng. Semenit kemudian ia melihat segerombol anak ingusan tengah melempari pohon mangga milik tetangga depan rumahnya. Ia pun membawa serta gitarnya untuk melihat lebih dekat.

Aku mulai berfikir. Benar, ini sudah 30 menit. Hal apa yang membuatnya terlambat selama ini. Sesuatu itu harus hal yang penting agar aku tidak terlalu kecewa pada Nyonya itu dan bocah kecilnya.
   Tenanglah, bayaran yang kau berikan hanya cukup untuk membeli selusin permen. Siapa yang menyuruhmu menghabiskan uang untuk lampu-lampu yang tidak berguna itu? Sudah kubilang itu akan menjadi terlalu terang,” aku mencoba menenangkan diriku. Dan itu ternyata lebih sulit daripada aku menenangkan Han.
Han menyalakan rokoknya. Ia memberi kode pada seorang penyanyi untuk mengisi waktu yang ada agar pengunjung tidak bosan. Seharusnya bocah kecil itu yang sekarang ada di panggung.

Bocah kecil itu hanya peduli pada mangga yang dilempari batu oleh segerombol anak ingusan. Bahkan ia tidak mendengar seseorang menyalakan klakson agar ia tidak tiba-tiba melintas di tengah jalan aspal.

   Apa kau tahu, bisnis seperti ini tidak mudah. Aku tidak menyediakan bir dan semacamnya. Yang datang hanya orang-orang tua bersama anaknya. Untuk itulah aku mau menerima bocah itu memainkan gitarnya disini. Tapi pada akhirnya, ia masih tidak tahu cara berterima kasih,”
  Justru berterima kasihlah padanya, darinya kita bisa belajar banyak hal. Mungkin dimulai dari aku,” ujarku sambil memainkan gitar. “ Sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan, hari ini aku akan memainkan gitarku lebih lama, dan itu gratis,” imbuhku
Han belum bisa tersenyum dengan penawaranku. Tapi itu cukup bisa membuatnya mematikan rokoknya.
  Baiklah, lakukan apa saja yang kau inginkan,” Han beranjak pergi.
  Tentu saja. Aku selalu melakukan hal yang ingin kulakukan,” kataku dalam hati

Tubuh kecilnya terpelanting. Jauh dari pohon mangga yang dikerumuni anak-anak ingusan. Jauh dari ibunya yang keluar dari rumahnya dan terpaku lemas.

Aku kembali berlatih sebelum nanti naik ke atas panggung. Lagu apa yang sebaiknya kumainkan? Tiba-tiba aku teringat dengan lagu yang dimainkan bocah kecil itu. Aku mengingat-ingat lirik yang menari-nari di kepalaku beberapa bulan ini. Bahkan ketika semuanya telah tertidur, namamu tidak akan pernah disebut. Tidak akan pernah disebut. Hey bocah kecil, akan kubawa lagumu ke atas panggung. Anggap saja ini tanda terimakasihku karena kau membuatku mengerti bahwa untuk tersenyum kau tidak membutuhkan hal yang membahagiakan sebagai alasannya.

Sirine ambulans membuat anak-anak ingusan itu berhenti melempari pohon mangga dan membuat sang pemilik pohon mangga tahu bahwa ia kehilangan beberapa buah mangga hari ini. Aku tidak pernah tahu kalau saat ini Nyonya itu sedang manangis sejadi-jadinya. Tangan kecil anaknya berusaha menggapai gitar yang terpelanting beberapa meter dari tempatnya terkapar. Dan bocah kecil itu masih saja tidak menangis.
i..iii..buu..gi..gitar..gitarku..senaaaar..nya..pu..putus,”

Hujan yang turun itu bukan salahmu. Bukan salahmu. Kunyanyikan bait demi bait liriknya.

ib...ib..u..git..arku..marah..pada...ku,”

-------
Wanita setengah baya itu setengah jongkok menangis ketika aku akhirnya menemukannya di depan Instalasi Gawat Darurat. Tentu tidak menangisi senar gitar yang putus. Setidaknya usaplah air matamu, Nyonya. Agar aku tidak ikut berkaca-kaca. Aku memapah wanita setengah baya itu ke sebuah bangku di taman rumah sakit. Kulihat ia masih belum tenang. Nafasnya masih tersengal. Dan Ia menggenggam gitar dengan beberapa senarnya yang putus. Mau kau apakan Nyonya?
  Apa kau tahu, Ia masih saja tidak menangis,” matanya yang sembab terpaku pada rumput yang diinjaknya.
Suasana menjadi hening. Apa yang seharusnya kukatakan? Aku bahkan tidak bisa mengatakan apa-apa ketika orang tua angkatku meninggal. Aku hanya pergi ke laut dan berteriak sekencang-kencangnya. Itukah yang harus kulakukan sekarang? Meninggalkan Nyonya itu yang tidak tahu harus kemana memperbaiki senar gitar yang putus?.
  Mungkin seharusnya aku meminta maaf padamu, Nyonya. Biasanya aku tidak peduli pada orang lain. Tetapi ketika aku memutuskan untuk peduli, tidak, maksudku ketika aku dengan sendirinya peduli, aku menjadi terlalu peduli. Ketika melihat putramu, aku seperti melihat diriku sendiri. Tentu putramu dalam versi yang lebih baik. Ia selalu tertawa. Kau tahu, awalnya aku merasa aneh ketika mendengarnya menyanyikan lagu sedih sambil tertawa. Tetapi lama kelamaan aku terbiasa. Ia membuat semua lagu menjadi begitu menyenangkan. Aku tahu ia tidak sengaja melakukannya. Tapi apa yang dilakukannya mengubah hidupku. Ia seperti berkata Hai orang dewasa, hiduplah dengan gembira. Kau seharusnya menolak menjadi dewasa ketika yang kau lakukan hanya murung dan hidup dengan menyedihkan.

Aku sudah terlalu banyak bicara. Cukup untuk menjadikan suasana kembali hening. Tidak lagi terdengar isakan tangis. Tanganku yang dingin tiba-tiba terasa hangat. Ada tangan orang lain yang menghalangi udara dingin malam ini menyentuh tanganku. Nyonya itu menggenggam tanganku.
   Putraku memberiku kebahagiaan dengan caranya yang terlalu sempurna. Bahkan sampai sebelum Ia menutup mata selamanya. Sejelek apapun orang di dunia ini, ia pasti mempunyai seseorang yang menganggapnya berharga. Tuan Sam memberitahuku tentang orangtua kandungmu. Meskipun mereka tidak mempedulikanmu, setidaknya masih ada orang yang menganggapmu berharga. Satu orang saja sudah cukup untuk memutuskan bahwa kau harus bahagia. “

Nyonya, bukankah seharusnya aku yang menghiburmu?

-------
Hai Bocah, apakah aku terlalu buruk hingga kau enggan menungguku memperbaiki senar gitarmu yang putus. Ataukah aku terlalu pintar hingga kau enggan menungguku berlatih nada-nada minor karena kau tidak ingin terkalahkan. Apapun itu, kali ini kalau kau tertawa, itu adalah hal yang benar. Tidak. Seharusnya dari dulu aku menganggap hal itu benar. Bahwa tertawa adalah hal yang benar. Bahkan ketika kau mengalami hal paling menyedihkan sekalipun. Karena hal paling menyedihkan sekalipun selalu memberimu ruang untuk tertawa.


June, 2013 

Saturday, June 8, 2013

SAMPUL ABU-ABU

Posting on Rosania Rossa di Saturday, June 08, 2013 0 komentar

Bunda, di sini ada yang mengatakan padaku kalau masa depanku tak harus bersampul biru.
    Mereka membuatku tak bisa tersenyum, Bunda. Karena sepanjang aku berjalan di emperan toko-toko ternama, sampul biru sudah pada habis terjual. Mereka, para pemilik toko itu, tak menungguku datang ke Jakarta, Bunda. Mereka menyisakan sampul abu-abu yang sudah lama, usang, dan sama seperti punya kita di Surabaya. Lalu untuk apa aku membelinya ?
   Aku pun berjalan lagi, Bunda. memandang semua etalase, tapi tak satu pun sampul biru kutemui. Sampul abu-abu itu kembali muncul dan membayangi bayangan kakiku yang hendak melangkah, Bunda. Mungkin ia sudah dibuang oleh pemiliknya. Sudah kukatakan padanya kalau aku sudah punya. Tapi apa katanya, Bunda.
” Aku terlihat abu-abu di Jakarta, tapi mungkin takkan terlihat abu-abu di Surabaya,” Bagaimana mungkin, Bunda ? Aku hanya bisa bertanya padamu. Karena jika aku membuka percakapan lagi dengan sampul abu-abu itu, ia akan terus menawarkan dirinya untuk ikut pulang ke Surabaya meskipun aku tak membelikannya karcis kereta.

            Menjadi guru bukanlah harapanku, Bunda. Aku tak melihat profesi guru sebagai sampul biru yang bisa membuatku tersenyum kelak di hari tua. Untuk apa aku datang ke Jakarta jika hanya untuk menjadi guru ?. Tidak, Bunda. Aku berpamitan padamu dan pada (mantan) murid-muridku untuk menjadi orang sukses di Jakarta. Itu manusiawi bukan, Bunda ?. Kukira tak apa aku meninggalkan gedung sekolah tua itu dan meminta Hendra untuk menambah jadwalnya mengajar. Hanya 3 kelas dengan murid paling banyak 8 orang, Bunda. Itupun kalau mereka berhasil ’melarikan diri’ dari sawah dan orang tua mereka yang tak mengijinkan mereka sekolah hanya karena merasa malu jika untuk kesekian kalinya harus menghadapiku dan mengatakan bahwa tidak ada uang untuk membayar. Kukira Hendra tak akan menyalahkanku dan takkan keberatan mengajar sendirian. Ia juga pasti tahu kalau aku bisa untuk jadi lebih dari seorang guru yang harus menempuh perjalanan selama kurang lebih 2 jam lamanya dari rumah hanya untuk sekedar mengajar di bangunan tua namun dengan sejumlah kecil murid yang semangatnya tak pernah tua. Harus melewati kali yang airnya kadang kugunakan untuk bercermin. Juga harus memakai sepatu bot karena jalanan selalu berlumpur. Aku tidak ingin selamanya bersampul abu-abu, Bunda.  Aku tak akan membawa ingatan tentang semangat mereka, semangat murid-muridku, ke Jakarta. Itu hanya akan mengendorkan semangat milikku sendiri untuk bisa lebih dari seorang guru.
             Hari ini aku mulai berkeliling Jakarta. Mungkin lebih tepatnya keluar-masuk beberapa perusahaan saja. Aku bahkan belum sempat melihat Monas, Bunda. Hanya karena ingin segera kudapatkan sampul biru untuk masa depanku. Mendapat pekerjaan yang selayaknya pantas kubanggakan padamu, Bunda. Meskipun kau pernah berkata dengan bangga bahwa putramu adalah seorang guru. Aku menjamin kali ini kau akan merasa lebih bangga, Bunda.
            Tapi lima menit ini aku kehilangan rasa banggaku, Bunda. Rasa bangga dengan ijazah pendidikan komputerku karena semuanya rata-rata mengatakan bahwa tidak ada hal yang bisa kukerjakan di sana. Mereka tidak memberiku kesempatan barang sehari dua hari untuk merasakan bekerja dengan komputer pribadi dan duduk di belakang meja tanpa harus bepikir keras bagaimana caranya mencari kata-kata yang tepat agar murid-muridku mengerti dengan apa yang kusampaikan.
            Aku mulai putus asa, Bunda. Dan dalam keputus asaanku ini aku pergi ke stasiun. Entah kenapa. Mungkin karena langkahku ke Jakarta berawal dari sini dan seakan-akan hanya tempat inilah yang kukenal. Karena di sini banyak manusia yang kehidupannya bersampul abu-abu. Tak ada bedanya denganku kukira. Tapi tak ada yang bisa kukatakan padamu tentang Jakarta, Bunda. Karena memang tak ada yang kutahu selain di sini kukira ada banyak orang yang kan memihakku untuk tidak menjadi seorang guru.
            Bunda, ada orang yang menghampiriku. Tapi aku tidak terlalu peduli. Bahkan aku tidak peduli apa nama stasiun ini meskipun untuk sekedar berjaga-jaga kalau nantinya aku tersesat karena aku terlalu yakin kalau aku akan membutuhkan stasiun ini baru beberapa tahun kemudian untuk mengunjungimu dan ceritakan semua tentang Jakarta. Saat itu akan banyak yang kuketahui tentang Jakarta.
            Lelaki setengah baya itu semakin mendekat. Mungkin, Bunda, ia melihatku sebagai sesosok manusia yang terbungkus sampul abu-abu. Warna abu-abu yang seperti warna mendung di Surabaya. Saat ini aku tengah dilihatnya berdiri di depan tempat tunggu penumpang dan ia bertanya padaku seakan aku memang orang yang tak bisa menyembunyikan kebingunganku. Tapi dalam tatapan matanya seakan ia mengira kalau aku bisa saja salah seorang dari kelompok orang yang sesekali mencuri besi-besi rel kereta untuk sekedar bisa membuat orang sepertinya dalam masalah.
            ” Mencari kerja ?,” Aku hanya mengangguk. Aku rasa tidak ada untungnya aku memperkenalkan diri, mengatakan siapa aku, dan datang dari mana. Tidak, Bunda. Orang ini sepertinya hanya seperti pedagang asongan yang tadi kutemui di kereta. Sekedar pertanyaan basa-basi. Memperlihatkan kalau ia juga masih tergolong orang yang ramah. Apa orang seperti abang ini bisa membentuku mendapat pekerjaan di Jakarta….selain guru.
            Kami pun lama berbincang. Ia menceritakan tentang sampul abu-abu yang dimilikinya padaku. Istrinya yang hanya wanita rumahan tapi dengan dua anaknya yang tetap sekolah. Abang itu bernama Herman, Bunda. Ia menjadi tukang sapu di stasiun yang aku tak tahu namanya ini.
            ” Sepertinya abang benar-benar mengenal Jakarta dengan baik. Saya Hamdi dari Surabaya,”
            ” Setiap hari ada banyak orang seperti kau yang datang ke Jakarta lewat stasiun sini. Dan abang yakin banyak orang yang sukses berawal dari stasiun ini. Semoga saja kau beruntung, Ham. Apalagi setelah kuperhatikan kau ini orang yang pandai bicara. Kau pernah berkerja sebelumnya ?,”
            Ia memanggil dirinya abang. Persis seperti yang kuucapkan. Kelihatannya abang Herman ini tahu banyak hal yang bisa membuatnya bertahan di Jakarta. Semua orang juga akan merasa nyaman berada di samping orang yang bisa menghargai apa yang mereka pikirkan, meskipun terkadang pemikiran yang aneh dan mengesalkan. Dan aku berpikir kalau abang Herman ini sedikit kelihatan lebih muda dari usianya yang setelah kutanyakan padanya adalah 30 tahun. Ia menyetujuinya.
            ” Dulu saya guru, bang. Tapi saya rasa menjadi guru tidak bisa banyak membantu saya, makanya saya mencari pekerjaan lain di Jakarta. Bukannya saya egois, bang, tapi hidup ini harus memandang realita kan, bang ?,”
            ” Itulah kenapa, Ham, kadang abang tidak ingin anak-anak abang meneruskan sekolah. Bukan soal biaya. Tapi kalau anak-anak abang mendapat seorang guru seperti kau. Mereka lebih baik tidak semangat sejak awal untuk sekolah daripada nantinya akan kecewa dan patah sekolah jika gurunya tidak akan atau kalau sepertimu dikatakan tidak ingin lagi mengajar,”
            ” Maksud abang ?,” Aku sedikit tersinggung. Guru seperti aku…?
            ” Kalau mereka sudah patah semangat, mereka hanya akan banyak bermain-main. Karena mereka menganggap tidak ada lagi yang memperhatikan. Setelah itu abang yakin kalau masa depan pendidikan bangsa kita ini bersampul abu-abu,”
            Ya, Tuhan, Bunda, abang Herman itu juga tahu tentang sampul abu-abu yang selama ini hanya kuceritakan padamu. Dan ia bicara tentang masa depan pendidikan.
            ” Tapi bang, bangsa kita masih punya banyak guru, bukan ? Saya rasa abang terlalu melebih-lebihkan,”
            ” Bangsa kita juga punya banyak tukang sapu. Bahkan apa yang bisa dibanggakan dari seorang tukang sapu. Tapi abang mencoba bekerja dengan nurani karena hannya itu yang abang punya. Apa jadinya kalau semua orang jadi pengusaha ? Bukankah akan banyak sampah yang menumpuk? Abang hanya lulusan SD, Ham. Tidak banyak yang abang ketahui tentang dunia pendidikan. Tapi yang abang tahu seorang guru sepertimu dikaruniai lebih banyak nurani ketimbang tukang sapu seperti abang,”
            ” Bang, bukankah manusiawi kalau saya berusaha memperbaiki keadaan saya. Dulu saya senang menjadi guru tapi realitanya kehidupan ini harus terus berjalan,”
            ” Abang tidak menyalahkanmu. Abang tidak merasa telah lama mengenalmu lantas berhak menilaimu. Anggap saja abang mewakili orang tua murid yang ada di Indonesia ini untuk memintamu terus mengajar. Abang menganggapmu sebagai orang yang penting. Memang banyak guru, Ham, tapi masih banyak lagi anak-anak yang punya semangat yang tak pernah tua untuk datang ke sekolah sekedar mengetahui apa nama orang yang mengemudikan kereta api…dari gurunya. Selagi kau masih hidup, Tuhan tidak akan lupa untuk memberi kita makan,”
            ” Kenapa abang peduli sekali dengan saya ?,”
            ” Seperti yang abang bilang tadi. Karena kau orang penting untuk bangsa kita. Kau tahu, sedikit untuk membuatmu semangat kembali, orang yang ada di foto itu..,” Ia menunjuk foto Presiden RI,”…Beliau juga bisa menjadi seperti ini karena jasa orang yang punya lebih banyak nurani daripada tukang sapu, yakni guru. Ham, jangan berpikir tidak ada yang akan kehilanganmu dengan keputusanmu itu,”
            Lalu abang Herman itu pergi, Bunda. Tanpa aku bisa mendengar suaraku sendiri untuk menanggapinya. Aku terdiam, Bunda. Aku rasa sudah sedari tadi aku terdiam.  Persis diam yang kurasakan saat aku mencoba membuat murid-muridku tenang agar pelajaran tak terganggu. Apa kabarnya mereka, Bunda ? Benarkah bagi mereka aku adalah orang yang penting ?. Teramat penting ?.
            Bunda, saat melihat kereta melintas, aku merindukanmu. Saat melihat asap mengepul dari gerbong terdepan, aku merindukan murid-muridku. Saat aku melihat jendela-jendela kereta dan para penumpang membuat keramaian, aku merindukan  lumpur yang menempel di sepatu bootku, merindukan kali yang airnya kadang kugunakan untuk bercermin.
            Bunda, tanpa aku sadari telah kubawa serta semangat murid-muridku itu ke Jakarta. Dan aku harus mengembalikannya kembali ke Surabaya.  Dan saat inilah aku tahu apa nama kereta yang kutumpangi, Bunda, sekedar menyenangkanmu kalau ada kenang-kenangan yang kubawa dari Jakarta.
            Sedikit banyak aku boleh menghibur hatiku kan, Bunda, kalau aku juga  orang penting di dunia pendidikan. Tanpa ada guru maka tidak ada pendidikan yang terlaksana dan karenanya Menteri Pendidikan kita tidak akan mendapat pekerjaan. Karena itu akan membuatku lebih semangat. Kalau pun aku dianggap tidak penting nantinya, aku akan tetap mengajar. Tidak akan membiarkan murid-muridku punya kesempatan mencuri besi rel kereta.

            Abu-abu juga warna kan, Bunda ?



Notes:
Runner Up in Short Story Competition (High School Level) se-eks Karisidenan Surakarta that was held  by UNS in 2007 (Theme: Masa Depan Pendidikan Indonesia)


Tuesday, June 4, 2013

SE

Posting on Rosania Rossa di Tuesday, June 04, 2013 0 komentar

Apapun yang terjadi pada Malam, sepertinya Siang tidak akan pernah peduli. Apakah Malam akan menyesatkan jalan seorang musafir atau Malam akan menunjukkan jalan yang benar lewat barisan bintang yang membentuk sebuah pertanda. Sepertinya Siang juga akan tetap tertidur lelap meski Malam menangis karena kehilangan hitam, atau kehilangan bintangnya yang paling terang, ataukah juga Malam yang tertawa melihat seseorang tersesat di bawah sayap indahnya, di bawah rengkuhan dinginnya.
   Namun, itu hanya menjadi sebuah kemungkinan. Malam tak pernah benar-benar menanyakan kenyataan perasaan itu. Siang pun juga tak akan sekehendak hatinya mengabarkan apa yang tergantung di ujung batinnya. Lalu apakah aku yang harus bertanya menggantikan Malam yang sayapnya mulai beku karena diacuhkan oleh Siang ? Apakah aku juga yang harus bertandang dan mengetuk pintu seraya bertanya,” Apa yang telah kau rasakan kemarin, apa yang kau rasakan hari ini, dan apa pula yang sepertinya akan kau rasakan esok pagi ?,”
   Aku selamanya menjadi pembantu Malam yang hanya memandang sudut bumi dengan pandangan kebisuan. Bulan pun selamanya hanya akan menjadi background Malam yang kehadirannya hanya indah untuk beberapa orang saja. Karena kebanyakan orang lebih menyukai Siang. Sebenarnya aku merasa tersiksa menjadi pembantu Malam yang setiap hari memintanya tertidur agar matanya tidak sebesar bola matahari esok pagi, juga memintanya menelan sesuatu agar badannya tidak serapuh ranting pohon yang hancur diinjaknya setiap kali ia berlari.
Hari ini aku mulai membenci Malam. Kuanggap ia tidak lebih dari seorang pecundang yang keberaniannya diukurnya sendiri. Kuanggap ia tidak lebih dari seekor tikus yang mengganggu saat aku ingin tertidur. Mungkin saja Malam juga memandangku sebagai keberanian yang dimiliki oleh seorang pecundang. Mungkin juga ia akan memandangku sebagai mimpi yang mengganggu tidur seekor tikus .
Namun, Siang tidak mengizinkanku lelah menatap Malam, berdiri dalam Malam, dan berbincang dengan Malam. Karena ia tahu aku sangat mencintai Malam.
Dalam Malam, tidak ada sesuatu yang dianggap berharga, hingga semua orang rela tertidur lelap daripada berjaga memandang bunga yang tumbuh di halaman rumah mereka. Sekalipun mereka telah menanamnya dengan susah payah. Dalam Malam, hanya noda putih yang akan terlihat, hingga tak ada seorang pun yang bisa merendahkan orang lain. Dalam Malam juga, aku berbicara pada satu-satunya milikku, sebuah keheningan yang abadi. Yang dari padanya aku memperoleh banyak kesenangan. Kebahagiaan orang yang merdeka karena mampu melihat apa yang seharusnya tidak boleh kulihat. Sebuah kebebasan batin yang terpenjara antara kabut malam hari dan embun pagi hari. Di dalamnya akan kutemukan bunga yang tak pernah layu, karena ia merdeka untuk menentukan kapan ia lelah berdiri di hamparan rumput yang luas. Kutemukan juga bulan yang tidak berbentuk seperti lingkaran, melainkan segi empat. Kutanyakan padanya kenapa ia seperti itu. Ia menjawab bahwa ia tidak ingin disukai banyak orang dengan bentuknya yang lazim. Ia ingin bebas mucul kapan saja ia ingin muncul dan sembunyi saat ia takut menghadapi hujan yang turun sekenanya. Ia tidak harus terus membuat orang tersenyum saat hatinya menangis. Juga tidak ingin terlihat indah dan berdiri angkuh saat ia rapuh dan merasa akan segera jatuh kalau saja kaki-kakinya tidak begitu kuat menyangga tubuh gempalnya.
Kebebasan batin itu sedang kucari dalam Malam malam ini. Aku harus mencarinya di bawah rumput yang masih basah terkena air hujan yang turun sekenanya. Aku juga harus mencarinya di balik bulan atau dalam bulan itu sendiri. Aku dengar di dalam bulan itu ada sebuah ruang di mana pemujanya biasa tidur dan menyanyikan lagu kesayangan mereka. Di sana pula bintang biasanya bersembunyi saat ia tidak ingin mendengar keluhan Malam yang terdengar begitu mengesalkan. Tapi bagaimana jika aku tidak cukup rendah untuk merunduk menghampiri rumput yang masih basah ? Bagaimana juga jika aku tidak cukup tinggi untuk menggapai pintu masuk dalam ruangan milik bulan ? Atau jika aku boleh bertanya, bagaimana jika aku tidak cukup berani untuk mengkhianati Malam dengan mencari bintang yang mulai bosan padanya ? Dan kenapa aku bertanya...

---ooOOoo---

Jejak matahari belum sepenuhnya tersapu. Tetapi awan putih sudah mulai membentuk komando untuk segera meninggalkan langit. Sepertinya bukan ide yang baik jika harus mengakhiri hari ini dengan pikiran yang terlalu optimis tentang apa yang akan kujalani esok pagi. Bergumam tidak akan menjadikan masalah ini terlihat sedikit lebih menyenangkan. Menjadi sahabatnya pun bukanlah  fakta yang terlalu menyenangkan.
Raya ada di dalam sana.

 Kalau memang suatu saat nanti aku mempunyai seorang anak, akan kupastikan Ia punya NPWP setelah Ia bekerja. Jadi ini semua tidak lagi menjadi masalah bukan?. Akan kuajarkan Ia menjadi seorang warganegara yang baik. Kau tidak perlu khawatir atau cemas. Kau adalah seorang wanita, jadi kurasa kau pun tahu apa yang tengah kurasakan.

Dan aku masih ada di luar.
Memandang bangunan putih di depanku tanpa sebuah ekspresi. Hanya berfikir bahwa itu bukan sebuah piramida yang ingin sekali kukunjungi bersama Raya. Bukan bangunan dengan 6 juta ton batu untuk membangunnya, terdiri atas 2,5 juta buah blok batu yang masing-masing beratnya sekitar 2,5 ton. Bukan bangunan yang pada setiap periode, 25.000 orang bekerja secara bersamaan. Hanya tumpukan batu-bata yang dilapisi cat putih. Sungguh bukan bangunan yang membuat orang iri untuk mengunjunginya.
Raya masih ada di dalam sana.
Terasing dari suara tangisan ibunya setiap malam. Dan membuatnya tidak merdeka untuk mengajakku berdebat tentang pajak atau apapun itu.

Kau tahu, perusahaan semacam itu juga menyumbang pajak untuk negara. Meskipun produk mereka lebih banyak berguna untuk orang-orang sepertiku, tapi tidak berarti produk semacam itu harus dilarang. Yang jelas orang-orang sepertiku sudah berperan mengembangkan perekonomian negara kita. Itu hal baik bukan ? Mereka bisa terus berproduksi dan menghidupi ratusan karyawan mereka. Hanya dengan menjual “pengaman”.

Terasnya terasa sangat dingin. Menembus apapun yang tengah kukenakan. Bangunan ini lebih mirip rumah hantu  Amityville, sebuah lingkungan di pinggiran kota di selatan Long Island, New York, daripada sebuah rumah sakit. Di sini lebih banyak orang yang meninggal daripada orang yang sembuh. Aku tidak peduli dengan keluarga Lutz yang membeli rumah hantu tersebut seharga $80.000 meskipun mereka telah diberitahu bahwa Ronald DeFeo, Jr., pemilik sebelumnya, telah menembak mati enam anggota keluarganya di rumah itu. Aku hanya peduli kenapa mereka mendirikan rumah sakit khusus untuk orang-orang seperti Raya, padahal mereka sama sekali tidak mempunyai obat untuk penyakit itu.
Sunyi masih mendominasi. Tidak ada bunyi jarum jam yang berdentang. Meskipun ini sudah senja dan waktunya untuk berdentang tiga kali. Rasanya semakin sepi di sini karena tidak ada yang kukenal selain Raya di ujung bangsal sana. Bungaku untuknya pun kukira tertinggal di kereta. Bukan masalah yang besar tentunya. Karena Raya pun tidak pernah peduli apa sekarang hidupku masih baik-baik saja.
Dari jendela-jendela di samping kananku terlihat matahari belum juga bersedia menyembunyikan dirinya padahal menurutku ini sudah saatnya ia beristirahat. Tidak ada yang memintanya untuk menjadi penunjuk jalan sepulangnya aku dari sini. Seperti halnya tidak ada yang memintaku menunggu Raya keluar dari bangunan ini.
Raya masih tetap ada di dalam sana.

Hmm, kurasa kau kurang menguasai konsep hukum permintaan yang diajarkan semester lalu. Baiklah, aku akan menjelaskannya untukmu. Permintaan dari pasar akan rendah saat harga barang itu tinggi. Kau tahu artinya ? Jangan terlalu mementingkan harga diri kalau kau ingin semua orang  menyukaimu, kalau kau masih ingin bertahan di lingkungan seperti ini. Karena yang ada kau hanya akan menjadi makhluk yang asing. Dan tidak ada yang menginginkanmu. [!]

Tiba-tiba aku teringat tentang hal yang kusesalkan di sini, yakni tidak ada ruang hampa udara yang disediakan untuk menampung pengunjung-pengunjung sepertiku. Mereka tidak berfikir bahwa itu bisa membantu. Sebuah tempat tersendiri agar aku bisa berteriak sekencang-kencangnya tanpa harus mengganggu pasien-pasien mereka Setidaknya agar Raya tidak tahu kalau aku juga menangis untuknya.  
Raya memang selalu lebih pintar dariku. Apapun yang telah ia lakukan, ia tahu kalau aku akan selalu peduli padanya. Dan apapun yang aku lakukan, aku tahu kalau ia tidak akan pernah peduli padaku. Tapi menurutku selalu ada kemungkinan untuk ia peduli. Banyak bangsa-bangsa di dunia yang menganggap angka 13 adalah angka sial yang harus dihindari setelah masyarakat tahu tentang numerologi Barat dan China. Tradisi juga membuat itu dipertahankan sampai sekarang. Hingga China dan negara-negara Eropa tidak mempunyai lantai 13 di setiap gedung-gedung tinggi mereka. Tapi ternyata perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat ada juga yang menggunakan angka 13 sebagai logo perusahaan mereka, seperti seperti logo McDonalds. Hanya saja angka 13 bisa dilihat jika logo itu diputar secara vertikal agar tidak terlalu kentara. Akan selalu ada kemungkinan seperti itu.
Tanganku mulai berkeringat. Tapi aku menjamin ijasah milik Raya akan baik-baik saja. Masih kutenteng itu dalam map plastik warna biru muda. Gelar S.E yang baru saja diterima didapatkannya hanya dengan sedikit kerja keras. Tidak akan begitu sulit untuk Raya. Menjadi sahabatnya pun tidak akan pernah bisa membuatku lebih pintar darinya.

Kurasa konsep Benchmarking yang diajarkan dalam Cost Accounting memang sangat mudah diterapkan agat perusahaan itu lebih cepat berkembang. Bahwa kesuksesan perusahaan tidak hanya diukur melalui omset penjualan dan laba mereka. Tetapi juga diukur dari kepuasan konsumen, pelanggan, serta kepercayaan dari pihak bank dan pemasok. Seperti itu pula yang kuinginkan. Selain ijasah, aku juga menginginkan cinta dari semua orang. Dari sahabat sepertimu. Dari kekasihku. Dari lingkunganku. Dan semua itu perlu sebuah pengorbanan. Tidak terlalu berat. Bahkan semua ini menyenangkan [!]

Langkahku terhenti. Ujung bangsal ini berakhir di sini. Raya masih ada di dalam sana. Pastinya ia tidak tengah mempersiapkan vas bunga sebagai wadah bungaku untuknya yang tertinggal di kereta meskipun ia tengah kesepian. Aku tidak pernah percaya bahwa ia akan segera mati. Seperti halnya aku tidak percaya dengan ramalan Jucelino Nobrega da Luz yang adalah orang Brasil yang salah satu ramalannya mengatakan bahwa pada tanggal 16 Desember tahun 2009 di wilayah timur Sumatra , Indonesia , akan terjadi 7,8 gempa bumi skala Richter, ribuan orang tewas. Meskipun ramalannya tentang gempa Tsunami tanggal 26 Desember 2004 pagi hari di propinsi Aceh yang dikirimkannya pada Presiden Soeharto tanggal 30 April 1997 memang benar-benar terjadi. Tapi aku tetap tidak ingin percaya bahwa Raya akan segera mati.
Tempat ini terasa begitu asing hari ini. Aku tidak mengenal lagi daun pintu kamar Raya. Sepertinya Alzeimer tengah memperkenalkan diri padaku. Lama tertegun membuatku semakin takut untuk menyadari bahwa Raya mungkin tidak lagi berada di dalam sana. Karena suara keheningan dari dalam sana telah menyadarkan lamunanku.
Raya seharusnya menungguku menunjukkan ini padanya. Sesuatu yang ia harapkan empat tahun yang lalu. Tetapi tak ada siapa-siapa. Kelambu putih yang biasanya membatasi ruang gerakku dengan Raya sudah dibereskan. Hingga aku tersadar betapa luasnya kamar ini. Betapa banyak jendela yang aku tidak pernah berdiri di depannya untuk sekedar menunjukkan kepada Raya bahwa matahari di luar sana selalu terlambat untuk beristirahat.

AIDS tidak terlalu menyedihkan bukan ? Hal seperti ini tidak akan membuatku menangis. Setidaknya aku masih bisa membuatmu peduli padaku sebelum aku mati. 


July 21st, 2009
 

Imajinasi Kepala Kaca Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review