Sedih. Getar. Sunyi. Melodi yang sebenarnya indah, tetapi hanya telinga yang menikmatinya. Kedua mataku tersiksa dengan apa yang kulihat. Seorang bocah kecil dengan gitar yang dipeluknya. Bahunya memandangiku. Mengatakan kalau aku hanya perlu mendengarkan.
Semakin sedih. Semakin bergetar. Semakin sunyi. Melodi yang semakin terdengar indah, tetapi telinga terlalu menikmatinya dan tidak menyadari bahwa mata ini lama-lama terpejam. Seperti tak ingin memandang bocah kecil dengan gitar yang dipeluknya. Bahwa bahunya harusnya mengatakan sejak awal kalau tidak seharusnya aku terpaku pada sendi-sendi tulang belakang miliknya.
Bahkan ketika semuanya telah tertidur, namamu tidak akan pernah disebut. Tidak akan pernah disebut. Bahunya bergetar ketika ia melafalkan lirik dengan terbata-bata sambil memeluk gitarnya. Tetapi ada yang janggal. Ia terkekeh. Kurasa aku tidak salah dengar. Itu suara tawa. Tunggu, apakah ia tidak memahami isi liriknya? Kurasa penggalan lirik itu sudah cukup sedih agar dia tau bahwa seharusnya ia menangis. Atau setidaknya bersenandung sendu. Bukan tertawa. Ini tidak benar. Benar-benar tidak benar. Dan apa? Kau menyanyikan lagu orang dewasa.
Hujan turun itu bukan salahmu. Bukan salahmu. Dengar, ia tertawa lagi. Bahkan cenderung teriak kegirangan. Itu lirik yang sedih. Apa kau tidak tau bagaimana caranya menangis? Apa kau ingin aku mengajarimu? Aku ahli dalam hal itu. Bocah kecil, kau merusak lagunya. Kalau kau ingin tertawa, tidak seharusnya kau memainkan melodi minor [!].
Dan seharusnya sedari tadi sudah kututup jendela kamarku. Tidak lagi mengakhiri hari-hariku dengan menikmati permainan gitarnya yang kurasa akan sia-sia jika itu tidak berhasil membuat orang lain menangis setelah mendengarkannya. Hanya karena dikombinasikan dengan nyanyian yang buruk. Sungguh buruk. Seharusnya hanya perlu memainkan gitarku, lalu memutuskan apakah permainanku tidak lebih baik dari bocah kecil itu atau sebaliknya. Setelah aku mengamatinya beberapa minggu ini, sebaiknya aku mencoba memainkan lagu itu. Lagu yang dinyanyikan oleh bocah kecil itu dengan sangat tidak benar.
-------
Pagi hari ini masih seperti pagi hari kemarin. Sam dengan radionya menciptakan kebisingan yang tidak kuinginkan.
“ Selamat pagi Tuan Sam, “ sapa seorang wanita paruh baya sambil tersenyum dan memamerkan kerutan-kerutan yang belum begitu tampak di wajahnya.
“ Oh Nyonya, apa yang membuat Anda pagi-pagi kesini? Anda membutuhkan beberapa bantuan?,”
Sam yang tengah duduk di depan losmennya spontan berdiri. Ia tidak menyadari kalau itu hanya akan membuat orang tahu kalau Ia sebenarnya adalah pria tua yang pendek.
“ Sepertinya begitu. Saya harus bertemu dengan salah satu penyewa losmen Anda,” ucap wanita itu dengan ramah
“ Kalau saya boleh tahu, dengan siapa Anda ingin bicara?,” Sam tak mau kalah ramah.
“ Anda tahu, saya baru pindah. Jadi saya juga tidak tahu saya ingin bicara dengan siapa. Hanya saja yang menyewa losmen di depan kamar putraku itu..,” tunjuknya ke sudut atas bangunan tua di depannya.
“ Kau mengatakan yang di pojok itu?,”
Wanita itu mengangguk.
“ Kau beruntung, dia sedang ada di dalam. Hanya saja berhati-hatilah saat bicara dengannya, Nyonya. Dia sedikit, maksudku, terlalu sensitif. Disini dia hanya berteman dengan gitarnya. Kadang dia menjadi terlalu berisik. Kerabatnya mengatakan kalau orang tuanya meninggal beberapa bulan lalu karena kecelakaan dan itu membuatnya...” Kalimatnya terpotong
“ Tuan Sam, apa saya boleh masuk sekarang?,” Wanita itu seperti tidak ingin menikmati udara dingin di luar dengan seorang pria tua yang hanya berteman dengan radio yang tak kalah tua.
“ Oh tentu saja. Memang tidak banyak yang mau mendengarkanku melantur,” Lelaki gendut itu tertawa. Memamerkan giginya yang besar dan kuning karena nikotin. Mungkin ia ingin orang lain tahu kalau ingin memberinya sesuatu, lebih baik itu sebungkus rokok.
“ Kau bisa naik ke lantai dua lewat sini, Nyonya,” Ia masih saja berusaha ramah
“ Terimakasih Tuan Sam, kau baik sekali. Lain kali aku akan mendengarkan ceritamu,”
“ Sama-sama,” balasnya. Wanita itu sudah menaiki tangga ,” Dan lain kali kau bisa memanggilku Sam saja,” teriak Sam sambil terkekeh.
-------
Kudengar seseorang mengetuk pintu. Ingatanku yang buruk mulai mempermainkanku. Aku tidak ingat apa aku disini mempunyai teman yang akan mengetuk pintuku pagi-pagi begini. Dan aku tidak punya cukup uang untuk membeli makanan pesan antar. Ataukah itu tukang pos yang mengirimkanku tagihan kartu kredit? Kalau iya, aku tidak cukup berani untuk melompat dari jendela. Jadi mungkin aku hanya perlu membuka pintunya.
“ Siapa?,”
“ Kami sekeluarga baru pindah, jadi aku berinisiatif kesini,” jawab seorang wanita.
Dari suaranya kukira Ia paruh baya. Seorang wanita paruh baya. Bukan seorang teman yang tidak kuingat, bukan tukang pesan antar makanan yang bau sepatunya saja membuatku lapar, apalagi tukang pos yang membuatku ingin melompat keluar dari jendela.
Pintu hanya kubuka sedikit. Cukup untuk melihat wanita itu menggunakan sepatu merk apa.
“ Maaf mungkin kau agak sedikit terganggu,”
“ Kau merasa, Nyonya?,” jawabku dari balik pintu.
Aku tidak tahu apakah aku harus mengenal wanita itu. Agak sedikit aneh ketika seorang lelaki berumur antar 25-30 an berurusan dengan wanita paruh baya. Ketika orang menganggapnya ibumu, ia tidak setua itu. Ketika orang menyangka ia kekasihmu, saat itu juga kau akan mulai dikasihani.
“ Bukan olehku, tapi putraku,”
“ Putra Anda?,” Kubuka pintu kamarku sedikit lebar. Cukup untuk mengetahui bahwa Nyonya itu hanya setinggi bahuku.
“ Iya,” Ia menunjuk jendela yang tepat menghadap jendela kamarku.
“ Ia agak berisik, bukan?,” Pandanganku mengikuti arah telunjuknya
“ Bocah itu?,”
-------
Ia sangat pintar bermain gitar dan berteriak. Ia tidak punya kemampuan lain. Bahkan Ia tidak bisa menangis. Ia hanya memainkan lagu-lagu yang bernada minor. Lagu-lagu dinyanyikannya dengan sangat buruk. Ia juga tidak suka menatap matahari. Tunggu, khusus hal yang satu itu kami mempunyai kemiripan. Ia suka sekali bermain air. Kukira itu jawaban kenapa terkadang beberapa jam aku tidak mendengar permainan gitar yang indah dengan lagu yang buruk. Kujamin Ia sedang sibuk menumpahkan semua air dari bak. Tetapi bagaimana bisa ada bocah seperti itu?
“ Itu karena putraku seorang penderita autis,”
Suara wanita itu terasa bergetar ketika Ia mengucapkannya. Apa Ia berharap suaraku akan bergetar ketika menanggapinya? Aku sendiri tidak tahu karena aku lebih memilih untuk diam dan memberinya isyarat untuk masuk ke dalam. Sesuai prediksiku, Ia akan bercerita lebih panjang setelah kupersilahkan masuk. Aku tidak ingin tahu tentang bocah kecil itu karena aku takut kalau aku akan terlalu peduli nantinya. Apapun itu, wanita di depanku sudah terlanjur memberitahuku banyak hal. Bahwa putranya adalah seorang bocah yang menyenangkan. Aku membayangkan betapa senangnya wanita itu karena anaknya tidak pernah menangis. Bahwa putranya mempunyai bakat yang luar biasa dalam permainan gitar.
“ Sebagai ibunya, aku sendiri tidak pernah tahu kenapa putraku hanya memainkan lagu-lagu bernada minor. Tetapi anehnya ia bernyanyi dengan sangat gembira. Ia bahkan seringkali bernyanyi sambil berteriak. Mungkin ia ingin aku tidak tertidur ketika mendengarkannya bermain musik. Apapun itu, ia membuat rumah kami begitu hidup. Dengan segala kekurangannya, ia tidak ingin kami merasa murung dan membencinya. Dalam hatinya mungkin ada perasaan sedih, tapi ia tak pernah mengungkapkannya. Orang lain mengatakan bahwa aku pasti senang karena putraku tidak pernah menangis. Kau tahu, terkadang orang tua berhenti menyukai anaknya yang selalu menangis. Tapi, apa kau tahu betapa inginnya aku melihat putraku menangis?,”
Aku harus menjawab apa, Nyonya. Kau memberitahuku terlalu banyak hal.
“ Aku juga menginginkannya pulang sekolah bersama teman-teman sebayanya. Berjalan dan bergandengan tangan. Sesekali melempari pohon mangga milik tetangga...,” wanita itu tersenyum hambar, “ Tidak, itu akan menimbulkan masalah,” Sekarang ia tersenyum geli, “ Kurasa aku sudah terlalu banyak bicara. Mungkin putraku sekarang membutuhkanku. Aku ikut sedih atas orangtuamu. Tuan Sam mengatakan bahwa...,”
“ Tidak apa-apa. Lagipula mereka bukan orangtua kandungku,” Aku memotong kalimatnya. Jika tidak ia akan memaksaku memberitahunya terlalu banyak hal juga.
“ Begitu? Baiklah, kalau kau butuh apa-apa kau tahu aku selalu berada di rumah,” wanita itu memberikan isyarat kalau ia akan segera pulang.
“ Kurasa tidak perlu, “ sahutku cepat
“ Baiklah, “ Ia permisi pulang. Baru beberapa langkah Ia kembali menoleh, “ Sekali lagi maafkan putraku,” Ia tersenyum simpul dan bergegas menuruni tangga. Pelan-pelan saja, Nyonya. Putramu belum akan bermain air.
Rekaman pembicaraanku dua jam yang lalu itu membuatku termenung selama dua jam ini di depan jendela. Kembali terpaku pada bocah kecil yang terlalu bahagia.
“ Tidak apa-apa. Lagipula mereka bukan orang tua kandungku,” Aku tidak tahu kenapa aku mengatakannya. Mereka yang bukan orangtuaku lebih berharga dari seseorang yang melahirkanku. Mereka yang memberiku nama tidak lebih berharga dari mereka yang memberiku kehidupan. Mereka memberiku terlalu banyak ruang untuk membenci.
Kau hebat, bocah kecil. Dengan keterbatasanmu, kau masih bisa membuat orang lain bahagia. Tapi dengan semua hal yang kumiliki, aku bahkan tidak mampu membuat orang lain tersenyum. Aku bahkan tidak tahu caranya berteman. Aku hanya menyapa mereka beberapa kali dan membiarkan mereka bergunjing tentangku. Bahwa aku hanya seorang anak angkat yang orangtua angkatnya telah meninggal dan bahkan orangtua kandungku tidak menyambangi pusara mereka, meminta izin untuk mengajakku pulang. Bahwa aku selamanya akan seorang diri dan tidak ada yang menawarkanku bantuan untuk membuatku tahu bagaimana cara tertawa. Sehingga aku tidak merasa berdosa ketika mereka pun tidak bisa kubuat tertawa.
-------
Han tengah menggotong kursi untuk dinaikinya.
“ Aku mengenal seseorang yang seperti kau harapkan, tapi aku tidak yakin dia akan membuat para tamu tidak beranjak pergi dari kursi mereka,” kataku sambil memainkan gitar.
“ Apa maksudmu?,” Han bertanya sambil memasang bohlam lampu.
Sudah kukatakan padanya kafenya sudah terang. Satu bohlam lampu lagi hanya akan membuat kafenya seperti stadium olahraga mini.
“ Kau tahu, ia sedikit..Maksudku, ia masih kecil dan mungkin ia akan gugup tampil di depan banyak orang,” permainan gitarku terhenti.
“ Kau bawa saja dulu ia kemari. Aku yang memutuskan. Aku tahu mana yang berbakat dan mana yang tidak,” katanya sambil menyalakan sebatang rokok.
Dan benar, kafenya menjadi terlalu terang. Han tidak mendengarkanku. Tapi itu tidak membuatku kecewa. Toh Ia hanya seorang pria tua yang tidak terlalu kukenal dengan kafe kecilnya yang beberapa bulan ini memberiku cukup uang karena gitarku.
“ Baiklah, kita lihat saja nanti,”
Apa yang kupikirkan? Apa aku ingin ia terkenal? Sebaik itukah aku? Ingin agar banyak orang tahu kalau bocah seperti dia masih berhak mendapat tepuk tangan dengan bakatnya itu. Atau sejahat inikah aku? Ingin agar ia tahu kalau ia tidak pantas menjadi musisi. Hanya karena ia selalu tertawa saat bernyanyi dengan nada-nada minor [!]
-------
Hey bocah, hari ini aku akan melihatmu bermain gitar. Tentu aku akan melihat wajahmu juga, tidak hanya bahumu.
“ Kemana bocah itu? Sudah jam berapa ini? Kau tahu kalau ini semua tidak gratis. Kau yakin tidak salah memberitahu jam dan tempatnya?,” Han mulai tidak sabar.
“ Tunggulah, sebentar lagi ia pasti datang. Ia punya seorang ibu yang tidak sebodoh itu hingga lupa kalau putranya harus bermain gitar disini malam ini,”
“ Apa? Tidak bodoh katamu? Ini sudah 30 menit. Kemana dia?,”
“ Lihat, kita sudah terlambat. Ibu sudah bilang kalau kita bisa main air lain kali,”
Bocah kecil itu hanya tersenyum memamerkan giginya. Ia berusaha memberitahukan pada ibunya kalau ia puas sekali bermain air. Nyonya itu selesai mengunci pintu ketika ia tiba-tiba teringat dompetnya masih ada di dalam.
“ Keanu, tunggulah disini sebentar bersama gitarmu. Ibu tidak akan lama” kata Nyonya itu seraya membuka pintu lagi.
Bocah itu duduk di tangga teras. Memandangi jalanan beraspal yang terlalu luas untuk bermain kelereng. Semenit kemudian ia melihat segerombol anak ingusan tengah melempari pohon mangga milik tetangga depan rumahnya. Ia pun membawa serta gitarnya untuk melihat lebih dekat.
Aku mulai berfikir. Benar, ini sudah 30 menit. Hal apa yang membuatnya terlambat selama ini. Sesuatu itu harus hal yang penting agar aku tidak terlalu kecewa pada Nyonya itu dan bocah kecilnya.
“ Tenanglah, bayaran yang kau berikan hanya cukup untuk membeli selusin permen. Siapa yang menyuruhmu menghabiskan uang untuk lampu-lampu yang tidak berguna itu? Sudah kubilang itu akan menjadi terlalu terang,” aku mencoba menenangkan diriku. Dan itu ternyata lebih sulit daripada aku menenangkan Han.
Han menyalakan rokoknya. Ia memberi kode pada seorang penyanyi untuk mengisi waktu yang ada agar pengunjung tidak bosan. Seharusnya bocah kecil itu yang sekarang ada di panggung.
Bocah kecil itu hanya peduli pada mangga yang dilempari batu oleh segerombol anak ingusan. Bahkan ia tidak mendengar seseorang menyalakan klakson agar ia tidak tiba-tiba melintas di tengah jalan aspal.
“ Apa kau tahu, bisnis seperti ini tidak mudah. Aku tidak menyediakan bir dan semacamnya. Yang datang hanya orang-orang tua bersama anaknya. Untuk itulah aku mau menerima bocah itu memainkan gitarnya disini. Tapi pada akhirnya, ia masih tidak tahu cara berterima kasih,”
“ Justru berterima kasihlah padanya, darinya kita bisa belajar banyak hal. Mungkin dimulai dari aku,” ujarku sambil memainkan gitar. “ Sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan, hari ini aku akan memainkan gitarku lebih lama, dan itu gratis,” imbuhku
Han belum bisa tersenyum dengan penawaranku. Tapi itu cukup bisa membuatnya mematikan rokoknya.
“ Baiklah, lakukan apa saja yang kau inginkan,” Han beranjak pergi.
“ Tentu saja. Aku selalu melakukan hal yang ingin kulakukan,” kataku dalam hati
Tubuh kecilnya terpelanting. Jauh dari pohon mangga yang dikerumuni anak-anak ingusan. Jauh dari ibunya yang keluar dari rumahnya dan terpaku lemas.
Aku kembali berlatih sebelum nanti naik ke atas panggung. Lagu apa yang sebaiknya kumainkan? Tiba-tiba aku teringat dengan lagu yang dimainkan bocah kecil itu. Aku mengingat-ingat lirik yang menari-nari di kepalaku beberapa bulan ini. Bahkan ketika semuanya telah tertidur, namamu tidak akan pernah disebut. Tidak akan pernah disebut. Hey bocah kecil, akan kubawa lagumu ke atas panggung. Anggap saja ini tanda terimakasihku karena kau membuatku mengerti bahwa untuk tersenyum kau tidak membutuhkan hal yang membahagiakan sebagai alasannya.
Sirine ambulans membuat anak-anak ingusan itu berhenti melempari pohon mangga dan membuat sang pemilik pohon mangga tahu bahwa ia kehilangan beberapa buah mangga hari ini. Aku tidak pernah tahu kalau saat ini Nyonya itu sedang manangis sejadi-jadinya. Tangan kecil anaknya berusaha menggapai gitar yang terpelanting beberapa meter dari tempatnya terkapar. Dan bocah kecil itu masih saja tidak menangis.
“ i..iii..buu..gi..gitar..gitarku..senaaaar..nya..pu..putus,”
Hujan yang turun itu bukan salahmu. Bukan salahmu. Kunyanyikan bait demi bait liriknya.
“ ib...ib..u..git..arku..marah..pada...ku,”
-------
Wanita setengah baya itu setengah jongkok menangis ketika aku akhirnya menemukannya di depan Instalasi Gawat Darurat. Tentu tidak menangisi senar gitar yang putus. Setidaknya usaplah air matamu, Nyonya. Agar aku tidak ikut berkaca-kaca. Aku memapah wanita setengah baya itu ke sebuah bangku di taman rumah sakit. Kulihat ia masih belum tenang. Nafasnya masih tersengal. Dan Ia menggenggam gitar dengan beberapa senarnya yang putus. Mau kau apakan Nyonya?
“ Apa kau tahu, Ia masih saja tidak menangis,” matanya yang sembab terpaku pada rumput yang diinjaknya.
Suasana menjadi hening. Apa yang seharusnya kukatakan? Aku bahkan tidak bisa mengatakan apa-apa ketika orang tua angkatku meninggal. Aku hanya pergi ke laut dan berteriak sekencang-kencangnya. Itukah yang harus kulakukan sekarang? Meninggalkan Nyonya itu yang tidak tahu harus kemana memperbaiki senar gitar yang putus?.
“ Mungkin seharusnya aku meminta maaf padamu, Nyonya. Biasanya aku tidak peduli pada orang lain. Tetapi ketika aku memutuskan untuk peduli, tidak, maksudku ketika aku dengan sendirinya peduli, aku menjadi terlalu peduli. Ketika melihat putramu, aku seperti melihat diriku sendiri. Tentu putramu dalam versi yang lebih baik. Ia selalu tertawa. Kau tahu, awalnya aku merasa aneh ketika mendengarnya menyanyikan lagu sedih sambil tertawa. Tetapi lama kelamaan aku terbiasa. Ia membuat semua lagu menjadi begitu menyenangkan. Aku tahu ia tidak sengaja melakukannya. Tapi apa yang dilakukannya mengubah hidupku. Ia seperti berkata Hai orang dewasa, hiduplah dengan gembira. Kau seharusnya menolak menjadi dewasa ketika yang kau lakukan hanya murung dan hidup dengan menyedihkan. “
Aku sudah terlalu banyak bicara. Cukup untuk menjadikan suasana kembali hening. Tidak lagi terdengar isakan tangis. Tanganku yang dingin tiba-tiba terasa hangat. Ada tangan orang lain yang menghalangi udara dingin malam ini menyentuh tanganku. Nyonya itu menggenggam tanganku.
“ Putraku memberiku kebahagiaan dengan caranya yang terlalu sempurna. Bahkan sampai sebelum Ia menutup mata selamanya. Sejelek apapun orang di dunia ini, ia pasti mempunyai seseorang yang menganggapnya berharga. Tuan Sam memberitahuku tentang orangtua kandungmu. Meskipun mereka tidak mempedulikanmu, setidaknya masih ada orang yang menganggapmu berharga. Satu orang saja sudah cukup untuk memutuskan bahwa kau harus bahagia. “
Nyonya, bukankah seharusnya aku yang menghiburmu?
-------
Hai Bocah, apakah aku terlalu buruk hingga kau enggan menungguku memperbaiki senar gitarmu yang putus. Ataukah aku terlalu pintar hingga kau enggan menungguku berlatih nada-nada minor karena kau tidak ingin terkalahkan. Apapun itu, kali ini kalau kau tertawa, itu adalah hal yang benar. Tidak. Seharusnya dari dulu aku menganggap hal itu benar. Bahwa tertawa adalah hal yang benar. Bahkan ketika kau mengalami hal paling menyedihkan sekalipun. Karena hal paling menyedihkan sekalipun selalu memberimu ruang untuk tertawa.
June, 2013