Wednesday, May 22, 2013

Imajinasi Kepala Kaca

Posting on Rosania Rossa di Wednesday, May 22, 2013


         Bagaimana kalau jumlah hari dalam seminggu ditambah satu. Atau bahkan dua. Agar setelah hari Minggu aku tidak perlu segera memikirkan tugas hari Senin. Atau aku tidak perlu tergesa-gesa merampungkan kewajiban hari Selasa. Karena aku masih punya satu sampai dua hari sebelum hari-hari menyibukkan itu.
Selain lalu lintas yang padat pada hari Senin, aku juga harus segera membayar tagihan sewa kamarku pada Tuan Ang. Duda tua yang semakin hari semakin kesulitan untuk menaiki tangga rumah susun yang dibangunnya 30 tahun lalu, untuk sekedar menagih sejumlah uang padaku. Aku sempat berpikir kenapa ia lebih suka menyusahkan dirinya sendiri. Bukankah akan lebih menyenangkan untuknya jika menungguku di bawah sambil menyandarkan kepala di kursi dan menikmati kopi pagi. Tapi ia tahu kalau ia tidak akan mendapatkan uangnya secepat yang ia harapkan jika hanya menungguku di bawah dengan radio tuanya yang memutar lagu-lagu yang sangat tidak kusukai. Ia tahu kalau aku akan lebih suka seperti manusia laba-laba yang bergelantungan lewat jendela kamar untuk kemudian berbaur dengan orang di jalan. Ia sangat tahu itu. Ini menambah hari Seninku semakin tidak mengenakkan.
Dan Selasa nya aku juga harus segera menyerahkan artikel yang akan dimuat di majalah kami minggu ini pada Dessie, editor yang selalu menurunkan kaca matanya untuk meneliti setiap inci pakaian yang kukenakan. Entah karena dirasa kurang mengikuti mode yang tengah berkembang atau dirasa terlalu sederhana untuk seorang Article writer khusus remaja seperti aku, yang pasti ia selalu mengernyitkan alisnya. Meskipun itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan tulisanku.
            Aku tahu tidak perlu ada persetujuan untuk menciptakan kedua hari itu. Jadi mulai hari ini, kuanggap ada 9 hari dalam seminggu. Tepatnya kutambahkan dua hari setelah hari minggu. Nama keduanya bisa kupikirkan belakangan. Tidak terlalu penting. Aku bisa menyebutnya dengan nama kedua tikus putih peliharaanku, Delsie dan Phino.
            Dan ini harus dirayakan. Dua hari baru dalam hidupku akan segera mengubahku menjadi manusia yang bisa sedikit menikmati hidup. Mungkin mulai sekarang aku bisa tersenyum menghadapi Senin yang begitu menyebalkan. Atau berjalan santai memasuki Selasa yang merepotkan.

            Minggu malam, 5 Mei 2004                                          
           
            Ha..ha..ha
            Aku bisa tertawa sekarang. Semula aku pusing memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk biaya sewa kamarku. Pemilik rumah mengatakan kepadaku pembayaran paling lambat adalah hari Senin . Tapi besok adalah hari Delsie . Masih ada dua hari lagi untukku mencari uang agar Tuan Ang tidak punya alasan untuk mengusirku.
            Aku benar-benar tertawa sekarang. Ternyata dua hari baruku itu benar-benar memberikan pencerahan padaku. Seakan aku menjadi raja dalam hari yang kuciptakan sendiri dan kurasakan sendiri.
            Tapi aku harus segera bertindak. Aku menciptakan Delsie dan Phino dengan muatan 24 jam saja. Sama dengan hari-hari yang lain. Dan sepanjang aku hidup, 24 jam adalah waktu yang terlalu panjang kalau hanya untuk dibuang bersama sepotong burger dan cola di tempat tidur. Jadi aku mulai berjalan-jalan keluar. Berharap ada sesuatu yang bisa kukerjakan yang membuatku mendapatkan uang. Otakku sedang tidak ada ide dan imajinasi untuk menulis meskipun hari Selasa nanti sebuah artikel harus ada di meja Dessie. Kata mereka oplah majalahnya meningkat gara-gara cerita yang kutulis.
            Tapi menjadi Article writer khusus remaja untuk majalah mingguan, tidak membuatku merasa tenang menghadapi Tuan Ang yang tidak pernah absen mengetuk pintu kamarku selama seminggu ini. Mengingatkanku kalau hari Senin sebentar lagi dan itu artinya aku harus segera membayar sewa. Senin lalu ia mengatakan hari Senin 7 hari lagi. Selasa lalu ia mengatakan hari Senin 6 hari lagi. Begitu seterusnya hingga tadi malam. HARI SENIN ADALAH BESOK PAGI, Ec !!!
            Tapi bagiku hari Senin masih 2 hari lagi. Besok adalah hari Delsie. Hari di mana aku memiliki waktuku sepenuhnya. Tidak ada jadwal. Tidak ada suara keyboard komputer yang ditekan oleh sepuluh jari untuk merampungkan sebuah tulisan. Ini menyenangkan. Meskipun aku harus rela dijuluki sebagai manusia aneh, aku tidak begitu peduli. Aku ingin kebebasan dan sedikit ketenangan.

            Delsie, Mei 06th  2004
            ” Ec, buka pintunya. Kau tahu apa yang harus kau lakukan Senin ini, bukan ?!,”
            Tuan Ang dengan handuknya yang basah sudah mulai mengabsenku sepagi ini. Ya Tuhan, apa aku harus menjelaskan kepadanya kalau hari ini adalah hari Delsie. Dan aku tidak harus membayar sewa kamar di hari Delsie.
            ” Selamat pagi, Tuan Ang. Senang berjumpa dengan Anda di hari Delsie ini. Anda boleh datang kemari dua hari lagi. Anda sendiri yang mengatakan kalau jatuh temponya adalah hari Senin,”
            ” Apa kalender yang kau pasang di kamarmu itu kalender tahun ini ?,”
            ” Tentu saja. Untuk apa saya memasang kalender tahun lalu ?!,”
            ” Kau ini penulis, bukan ?! Jadi kurasa kau tidak buta huruf dan angka untuk membaca di sana, hari dan tanggal berapa sekarang,” Tuan Ang membetulkan handuknya yang hampir melorot dari pinggang karena geram padaku. Tapi kumisnya yang sudah memutih sama sekali tidak membuatku takut.
            ” Begini, Tuan Ang. Saya baru saja menciptakan dua hari baru. Namanya hari Delsie dan Phino. Dan hari ini adalah hari Delsie pertama saya. Maaf kalau membuat Anda bingung,” Akhirnya kujelaskan juga pada Tuan Ang. Tapi kuharap penyakit tuli yang biasa menghinggapi orang tua juga menghinggapi Tuan Ang, agar tidak terlalu banyak pertanyaan nantinya.
            ” Apa lagi itu ?! Dasar pemuda gila. Kurasa lain kali aku harus mengadakan tes psikologi untuk calon penyewa kamarku. Terserah apa yang kau katakan. Aku hanya akan memberimu waktu dalam seminggu untuk melunasi sewa kamarmu kalau kau tidak mau kutendang keluar dari tempatku,” Taun Ang masih berusaha menunjukkan padaku kalau ia masih menjadi lelaki. Meskipun lelaki tua.
            ” Baiklah, saya mengerti, Tuan Ang. Selamat pagi,” kuucapkan salam terakhir pagi ini sebelum aku memulai mencari sesuatu. Mencari uang tepatnya. Mungkin bukan mencari, tapi berusaha mendapatkannya. Selain untuk membayar sewa kamar, aku juga harus mengirim uang untuk Alt, adik semata wayangku yang tengah merampungkan studi akhirnya di SMU.
            Aku mulai bersiap dengan kaos dan celana jeans robengku. Mungkin beginilah style umumnya penulis. Seorang yang sempurna dalam berkata-kata tapi tidak sempurna dalam penampilan.
            Meskipun ini hari Delsie, tapi tetap saja kamar Ben  yang ada di depan kamarku masih tertutup saat aku mengunci kamar dan melangkah menuruni tangga-tangga kayu yang sudah tua. Ben adalah temanku dalam segala hal, kecuali dalam hal pembayaran uang sewa kamar. Tapi ia bukan seorang penulis sepertiku. Pekerjaannya sehari-hari adalah menunggu mesin kasir di sebuah swalayan kecil di ujung gang sebelum aku membelok untuk sampai ke kantorku.
            Ben, kalau kau bangun lebih awal hari ini, pasti akan segera kuberitahukan kepadamu cara menikmati hidup dan melepaskan diri dari tekanan. Kau harus mengikuti langkahku. Dan kau akan berpikir kalau aku benar.
            Jalan yang kulalui sepanjang ini belum memberitahuku apa yang harus kukerjakan untuk mendapat uang. Kuputuskan untuk berhenti sejenak dan duduk di bangku pinggir jalan. Kuistirahatkan kakiku di sana sambil memandangi apa saja yang ada di hadapanku.
            ” Apa yang bisa kukerjakan sekarang ?,” gumamku
            Orang-orang yang ada di jalan menjadi semakin banyak. Dan kemacetan tidak terelakkan. Tapi sekarang aku tidak terjebak di dalamnya, dalam mobil bututku yang tidak ber-AC. Aku tengah mengamatinya. Mengamati kemacetan dengan meniru tingkah seorang bocah yang terlihat olehku sedang duduk di bangku yang tengah kududuki hari Senin minggu lalu. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Ia tersenyum lepas melihat mimik-mimik muka pemilik mobil yang tidak bisa menggerakkan ban mobilnya ke depan. Yah…inilah nikmatnya hari Delsie. Di mana kau bisa mengamati kemacetan dengan tertawa lepas seperti tawa seorang bocah dengan sebatang permen coklat di tangannya. Lalu, hal lucu apalagi yang bisa kutertawakan hari ini ?
            Aku pun mulai melangkah lagi. Mencari-cari hal yang bisa membuatku senang hari ini. Ya…benar. Aku bisa ke sana. Cafe John bisa membuatku semakin menikmati hariku. Sejenak aku lupa apa di sana aku bisa mendapat uang untuk membayar sewa.
             ” Hai, Ec !! Kau tidak bekerja hari ini ? Biasanya kulihat mobilmu tengah berjajar di depan sana mengantri untuk melewati belokan depan,” John menyapaku begitu ia melihatku memasuki cafenya.
            ” Apa kau juga tahu kalau aku lah yang membunyikan klakson paling kencang ?,”
            ” Kalau soal itu aku tidak tahu. Mungkin kau bisa cerita dengan ditemani secangkir kopi ?,”
            ” Tentu saja. Apa menurutmu aku kemari hanya untuk melihat pembantumu mengepel lantai sepagi ini ?,”
            ” Ha..ha..ha..selera humormu ternyata lumayan. Kau mengingatkanku kalau ini masih pagi. Lalu kenapa kau tidak masuk barisan antrian mobil seperti biasanya ?,” John bertanya padaku sambil menuangkan sdangkir kopi untukku. Aku lalu ingat kalau di sini aku tidak bisa mendapatkan uang, justru aku harus mengeluarkan uang untuk secangkir kopi. Aku juga ingat kalau John mengulang pertanyaan yang sama tentang pekerjaanku hari ini.
            ” Aku sedang ingin menikmati hariku. Kalau kau mau, aku bisa memberitahumu rahasianya,”
            ” Apa maksudmu dengan rahasia ?,” John mendekatkan wajahnya ke arahku dengan alis yang sedikit mengkerut.  ” Apa ini sesuat yang hebat ?,”
            ” Tentu saja. Karena aku menyebutnya dengan ‘rahasia’,” aku ikut berbisik seperti caranya bicara tentang ‘rahasia’.
            ” Apa itu ?,”
            ” Kau benar-benar ingin tahu ?,” John mengangguk cepat. Lalu kukatakan padanya sesuatu yang ingin kukatakan pada Ben saat aku melihat pintu kamarnya yang masih tertutup.
            Pembantu John yang sedari tadi hanya berkutat dengan tangkai pel dan seember air itu kini memandang dengan penuh rasa ingin tahu yang tergambar jelas di wajahnya. Tapi rasa ingin tahunya sepertinya hilang berubah menjadi rasa takut saat melihat John beranjak menjauhiku dan beralih ke tumpukan gelas-gelas, membersihkannya dan menaruhnya bukan tanpa nada.
            ” Hari ini kopimu itu gratis, Ec. Dan kuharap kau jangan datang ke sini lagi sampai kau betul-betul sadar bahwa apa yang kau lakukan ini sangat tidak masuk akal,” begitu kata John setelah aku menyelesaikan kalimat ‘rahasia’ku.
            ” Hey, John, ada apa denganmu ? Bukannya tadi kau begitu antusias ingin mendengarnya ? Lagipula aku tidak menyuruhmu memikirkannya, aku hanya menyarankan untuk melakukannya,”
            John tidak lagi menyahutku. Hanya mematung dengan sebuah kain yang melingkar di bahunya. Tadi digunakannya itu untuk mengelap meja landasan kopiku.
            ” Baiklah, John. Aku tidak memaksamu. Bagaimana pun juga terima kasih atas kopinya pagi ini. Hey Mary, kalau kau ingin tahu apa yang aku bicarakan dengan majikanmu, sebaiknya kau menanyakan itu pada John setelah aku pergi nanti,” Kualihkan pandanganku pada Mary, pembantu John, yang menghentikan pekerjaannya sejenak karena melihatku membisikkan sesuatu pada John. Mungkin saja orang seperti Mary lah yang bisa mengerti dan memahami pemikiranku.
            Aku meninggalkan cafe John dengan santai. Kupikir tidak apa kalau ada orang yang tidak sejalan dengan pemikiranku. Toh Darwin juga tidak sampai mengganti namanya agar orang tidak menertawakannya setelah ia mengemukakan teori Evolusinya yang  ternyata menyinggung nurani manusia.
            Kira-kira apa yang dipikirkan Tuan Ang tentang aku ?. Aku teringat pada Tuan Ang yang juga sudah mendengar ‘rahasia’ku. Apakah ia akan seperti John dan membuatnya mengambil keputusan menendangku dari rumah susunnya ?
            Entahlah, tiba-tiba aku merasa lelah. Uangnya akan kucari besok, pikirku. Sekarang kuputuskan untuk berjalan-jalan saja mengitari kota. Tidak kusangka ternyata telah banyak perubahan. Mungkin karena aku yang terlalu sibuk sehingga tidak menyadari kalau kotaku sekarang sudah banyak berubah. Atau memang mereka mengubah kotaku tanpa bertanya atau konfirmasi dahulu kepadaku. Kalau kuperhatikan ternyata dinding cafe John sudah berganti warna. Dari merah darah menjadi hijau daun. Entah apa maksudnya. Ternyata dengan hari Delsie-ku ini, aku baru sadar kalau harusnya mereka meminta pendapatku untuk mengubah kotaku.
            Sudahlah, itu bukan hal yang terlalu penting yang bisa mendatangkan uang jika dipikirkan terus-menerus.

            Phino, Mei 07th  2004
            Brak !!!
            Untuk kesekian kalinya jam wekerku jatuh.
            Setiap Selasa pagi, jam wekerku selalu jatuh.
            Tapi kali ini bunyi jatuhnya terdengar lebih ringan. Mungkin karena Tuhan mengerti kalau aku tidak harus bangun pagi-pagi hari ini untuk menghadap Dessie.. Menyenangkan sekali. Aku pun ingin tahu apa Ben juga akan menatap pintu kamarku yang belum terbuka sebelum ia berangkat kerja.
            Kuletakkan kedua tanganku di atas kepala dan mengamati langit-langit kamarku  yang sepertinya sudah lama tidak kulihat. Biasanya tidak ada hal yang istimewa di atas sana, tapi entah kenapa sekarang terlihat berbeda dan membuatku betah berlama-lama tidak beranjak dari tempatku tidur.
            ” Ec !!! Apa kau sudah bangun ?!!!,”
            Teriakan Ben membuatku merasa kalau langit-langit kamarku kembali tidak istimewa. Ternyata ia tidak hanya akan menatap pintu kamarku jika ia bangun lebih pagi dariku, tapi juga berusaha membuatku bangun pagi sepertinya. Kurasa ia tidak rela kalau hanya dirinya yang bangun pagi hari ini. Kebetulan hari ini bukan hari Selasa bagiku, tapi hari Phino. Dan aku tidak harus bangun pagi seperti biasanya dan tergesa menuju kantor. Tuan Ang pun tidak terlalu sibuk hari ini. Karena ia akan mengantar cucunya  ke sekolah jam 09.00 am nanti.
            Krek…Kubuka pintu untuknya.
            ” Ben, apa kau tidak punya pekerjaan lain ? Kenapa kau berteriak sepagi ini ?,”
            ” Ternyata kau sudah bangun, Ec. Aku hanya ingin berguna bagimu,”
            Kuhembuskan nafas berat. Ya, Tuhan…aku harus merasa kalau langit-langit kamarku tidak lagi istimewa hanya untuk memberi kesempatan pada Ben untuk menunjukkan kalau ia seorang tetangga yang baik.
            ” Baiklah, kebetulan aku bertemu denganmu. Sebenarnya beberapa hari yang lalu aku ingin mengatakan ‘rahasia’ku padamu. Hanya saja waktu pintu kamarmu masih tertutup,”
            ” Kau baru saja menyebut ‘rahasia’? Sejak kapan kau punya ‘rahasia’? Yang kutahu, hutang sewa kamarmu yang menumpuk saja tidak kau jadikan ‘rahasia’ di hadapanku,”
            ” Begini…masuklah dulu. Biar kujelaskan padamu,” Tanpa izin darinya, kutarik lengannya dan mendudukkannya di kursi. Aku rasa Ben harus tahu ‘rahasia’nya. Atau aku lah yang memang harus tahu apa reaksinya. Sejenak kupandangi Ben yang dengan mimik muka penuh tanda tanya mengamatiku dalam-dalam. Aku tiba-tiba saja menjadi ragu untuk mengatakannya pada Ben. Kekhawatiranku terhadap reaksinya nantinya membuatku terdiam begitu lama. Bisa saja ia akan seperti Mr. Ang atau John yang menganggap apa yang kulakukan tidak masuk akal.
            ” Sebenarnya kau kenapa, Ec ? Apa yang kau maksudkan dengan ‘rahasia’ ?,”
            Aku masih menugaskan tangan kananku untuk menopang daguku.
            ” Ec, kau tahu kan kalau mesin kasir di supermarket tidak bisa bekerja sendiri ? ,” Ben mendesakku untuk  bicara.
            Aku tidak berkata kalau mesin kasir di supermarket bisa bekerja sendiri.
            ” Ben, apa kau pernah punya sebuah imajinasi ?,”
            ” Tentu saja,” jawabnya singkat. Tapi perjalanan tatapan matanya tidak sesingkat itu. Mataku baru saja melaporkan kalau tatapannya telah sampai ke kediamannya hingga ke retina. Tatapan yang dalam .
            ” Kalau begitu akan kuceritakan imajinasiku padamu. Kata Albert Einstein, imajinasi adalah segalanya. Imajinasi adalah gambaran pendahulu dari peristiwa hidup yang menjelang,”
            Aku mengubah posisi dudukku. Aku tidak mau menceritakan hal ini dengan menatap wajah Ben. Karena pasti ada kerutan-kerutan yang muncul. Dan itu akan membuatku menghentikan cerita. Hingga Ben tidak akan paham apa yang kumaksudkan dengan imajinasiku itu.
            Kutatap jendela kamarku. Di luar sana terlihat jendela kamar yang serupa. Karena memang rumah susun ini bersebelahan dengan rumah susun milik Nyonya Anne. Seorang janda juga tetapi usianya belum setua Tuan Ang. Katanya ia akan menikah dalam minggu ini. Dan untuk memberikannya hadiah pernikahan, aku harus mempunyai uang. Setidaknya untuk membeli sepasang arloji imitasi untuk sepasang pengantin.
            Ben, dengarkan baik-baik…
---oOo---
            ” Kau tidak merasa aneh ? Sama sekali tidak merasa aneh ?,” Ben bertanya padaku
            Reaksi Ben memang tidak terlalu mengejutkan. Ini menyenangkanku. Setidaknya aku mempunyai seorang pendukung yang bisa kutunjukkan pada John di hari Delsie minggu depan saat aku berjalan-jalan mengitari kota kembali dan duduk di bangku pinggir jalan seperti seorang anak kecil dengan permen dan coklat di tangannya menertawakan pada pemilik mobil yang tidak bisa menggerakkan ban mobilnya ke depan.
            ” Kenapa aku harus merasa aneh ? Justru ini membuatku berpikir kalau ternyata selama ini caraku untuk menikmati hidup adalah salah,”
            ” Jadi kau berpikir yang kau lakukan ini benar ?,” Ben kembali melemparkan pertanyaan padaku.
            Pertanyaan itu hanya kujawab dengan senyuman. Kukira itu cukup untuk memberitahunya bahwa ia sudah tahu jawabannya.
            ” Ow..Ben, aku hampir lupa. Aku harus bertanya padamu tentang satu hal,”
            ” Apa itu ?,”
            ” Kenapa pagi ini kau membangunkanku ? Kukira ada alasan lain selain ‘aku ingin berguna bagimu’. Kalau aku boleh menebak, apa karena kau tidak rela kalau hanya kau yang harus bangun pagi hari ini karena supermarket tempatmu bekerja akan buka lebih pagi ?,”
            Ben belum menjawab.
            ” Hey, kau ini jahat juga ya ?! Kalau begitu kau juga harus membangunkan Tuan Ang meskipun ia masih akan mengantarkan cucunya, Jane, ke sekolah pukul sembilan nanti. Agar aku tidak terlalu kesal padamu,” Kukatakan itu dengan nada santai. Seharusnya Ben tahu kalau ia tidak harus menanggapi apa yang kukatakan.
            ” Itulah, Ec. Selain untuk menyuruhmu segera pergi ke kantormu, aku membangunkanmu untuk memberitahu kalau cucu Tuan Ang kemarin malam harus dilarikan ke rumah sakit karena ia sengaja menabrakkan dirinya di jalan,”
            ” Ya, Tuhan…kenapa seorang bocah bisa bertindak sebodoh itu ? Apa kau tahu apa sebabnya ?,”
            ” Sebenarnya aku merasa tidak nyaman untuk mengatakannya padamu. Kata Tuan Ang, ini ada hubungannya denganmu, Ec,”
            ” Kau bilang ada hubungannya denganku ? Yang benar saja, Ben. Kemarin seharian aku berada di luar. Dan sama sekali aku tidak melihat atau bersama Jane. Bagaimana ini bisa ada hubungannya denganku ?,”
            Ben sepertinya tengah berpikir kalau yang kukatakan itu masuk akal. Memang ini semua masuk akal. Aku sama sekali tidak bermain dengan Jane kemarin. Dan tiba-tiba saja apa yang menimpa Jane dihubungkan denganku.
            ” Ec, apa kau ingat kalau kemarin seharusnya kau membayar sewa kepada Tuan Ang ? Kau sendiri yang mengatakannya padaku. Dan saat itu aku tidak punya cukup uang untuk membantmu,”
            ” Soal uang sewa itu…seharusnya Tuan Ang tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Aku akan segera mendapat uang dari upahku menulis. Kalau kau bertemu dengannya, mintalah ia untuk sedikit santai menghadapiku,”
            ” Kalau bagimu ini hari Phino seperti yang kau ceritakan tadi, lalu kapan kau akan menyerahkan artikelmu pada atasanmu sehingga bisa secepatnya menghasilkan uang ? Hari ini saja tidak ada yang kau lakukan. Kau pikir semuanya akan lebih baik dengan imajinasimu itu ?,”
            Ben berubah tidak mendukungku.
            ” Hey, Ben, kenapa kau juga mengkhawatirkan uang sewaku ? ,” Kali ini aku yang bertanya padanya.
            ” Karena gara-gara kau tidak membayar sewa kamarmu pada jatuh tempo kemarin, Tuan Ang tidak mempunyai tambahan uang untuk membelikan Jane sepeda yang sudah lama dimintanya. Seorang bocah seperti Jane belum bisa berpikir sepertimu yang menghibur dirinya dengan berimajinasi. Kau tahu akhirnya bagaimana, bukan ? Kaki kanan Jane patah dan untuk itu Tuan Ang harus menyiapkan lebih banyak uang,”
---oOo---
            Selamanya rumah sakit akan selalu seperti ini. Orang-orang menunjukkan raut muka tidak bahagia. Hawa yang tercium pun membuat perutku mual. Kalau diizinkan, seharusnya dokter dan perawat di rumah sakit tidak usah memakai pakaian berwarna putih. Agar tidak membuat orang-orang di sini semakin tidak bahagia. Karena setiap orang akan teringat kalau kain kafan itu juga berwarna putih.
            Jane tidak baik-baik saja. Sama sepertiku. Hanya saja kaki kananku tidak berbalut perban seperti milik Jane. Tapi kakiku rasanya juga tidak bisa digerakkan ketika aku bersirobok pandang dengan Tuan Ang.
            Bagaimana aku harus menghadapi Tuan Ang ? Mana yang lebih baik, meminta maaf dengan cara lelaki ataukah mengatakan padanya kalau ini tidak sepenuhnya salahku ?. Tidak ada cukup waktu untuk berpikir. Kuhampiri Tuan Ang yang duduk di pojok ruangan dengan sesekali melihat majalah yang direntangkannya dengan dua tangannya.
            ” Tuan Ang, aku ikut menyesal atas kondisi Jane. Ben berkata banyak padaku,” Aku berkata pelan pada Tuan Ang. Takut kalau Jane akan terbangun mendengar perkataanku.
            ” Sebenarnya ini memang salahmu, Ec. Tapi mungkin ini juga salah Jane. Karena ia seperti ibunya. Keras kepala. Dan aku harus menanggung akibat dari sifat keras kepalanya itu karena aku bertemu dengan orang yang seenaknya seperti kau,”
            ” Aku minta maaf. Tapi aku harus segera pulang. Hari ini Alt akan mengunjungiku. Aku tidak ingin ia bingung karena tidak mendapati seorang pun di rumah. Aku permisi,”
            Tuan Ang menyilakanku tanpa syarat harus datang kembali lagi besok.
            Di jalanan kota, aku melihat orang-orang berjalan cepat-cepat. Seperti takut kalau-kalau hujan akan segera turun dan mereka akan ketinggalan bus umum. Padahal sore ini begitu menyenangkan jika dinikmati dengan berjalan santai sambil sesekali meneguk kopi panas dari mesin kopi. Namun aku segera teringat satu peristiwa yang membuatku tidak begitu menyalakan mereka yang berjalan cepat-cepat di sore yang menyenangkan ini. Beberapa tahun yang lalu, aku bahkan pernah berlarian dengan menggandeng Alt agar ia tidak tertinggal bus terakhir hari itu untuk sampai ke kota di mana ia akan belajar.
            Dan hari ini Alt akan mengunjungiku. Lebih tepatnya untuk bertanya padaku kenapa rekeningnya tidak juga bertambah untuk biaya bulan ini.
            Pikiranku tentang Alt semakin kuat saat aku sampai di depan pintu kamarku. Pintunya masih terkunci. Itu artinya Alt belum sampai. Ia punya kunci duplikat kamarku dan ia akan menggunakannya setela tahu aku sedang tidak ada di rumah. Setelah itu, kuncinya akan dimasukkannya kembali ke anakan tas. Mungkin saja ia mampir ke rumah Ben, pikirku. Tapi tidak, sanggahku sendiri. Tidak ada sedikitpun suara yang terdengar.
            Pikiran-pikiran itu membingungkanku sampai-sampai aku tidak menyadari kalau ada sesuatu yang terselip di bawah daun pintu kamarku. Kupungut secarik kertas yang dilipat menjadi dua itu.

Maaf jika aku hanya meninggalkan surat ini tanpa harus bertemu denganmu.
Ben cukup ramah padaku tadi. Ia mempersilakanku mampir ke kamarnya dan menawariku secangkir kopi. Aku juga sudah mendengar banyak berita yang berkembang di sini akhir-akhir ini, termasuk imajinasi aneh yang kau lakukan, juga tentang Jane.
Kebetulan aku pernah membaca salah satu buku yang ada di perpustakaan sekolahku. Dan aku ingin membaginya denganmu. Sebagai seorang penulis, kurasa kau mengenal Jack Canfield. Ia adalah salah satu penulis Chicken Soup For The Soul yang menjadi buku terlaris di New New ork Times dan mengalami cetak ulang lebih dari 100 juta buku. Ia kurang lebih pernah menuliskan :
             Putuskan apa yang Anda inginkan. Yakini Anda bisa memilikinya. Yakini Anda berhak mendapatkannya, dan yakini bahwa ini tidak mustahil bagi Anda. Kemudian setiap hari pejamkan mata beberapa menit, visualisasi Anda memiliki apa yang Anda inginkan tersebut, rasakan perasaan-perasaan sudah memilikinya. Keluarlah dari imajinasi itu, lalu fokuskan diri pada apa yang sudah Anda syukuri, dan sungguh-sungguh menikmatinya. Kemudian jalani hari Anda, dan lepaskan semuanya kepada Semesta dan percaya bahwa Semesta akan menemukan cara untuk mewujudkannya. 
Kurasa sebagai penulis, kakak paham betul arti dari setiap kalimat yang kutuliskan.
Kakak tidak usah terlalu khawatir dengan biayaku bulan ini. Kerja paruh waktu tidak akan terlalu menyita waktuku untuk belajar, bukan ?

                                                                                                                        Alt
            Aku segera masuk ke dalam setelah membaca surat dari Alt yang tidak terlalu panjang tetapi sangat sarat makna. Aku mengerti, ia bermaksud memberikan saran padaku. Masalahnya adalah Alt tidak pernah menjadi aku. Dan ia tidak akan pernah menjadi sepertiku.
            Kring…!!!
            Bunyi telepon mengaburkan pikiran-pikiranku tentang Alt. Suara bening seorang wanita menyambutku di seberang sana. Pertanda ia bukan seorang perokok. Ini membuatku menyukainya. Tapi beberapa detik kemudian aku segera tersadar kalau selama ini aku tidak ingin menyukainya. Aku tidak suka dengan wanita yang menurunkan kacamatanya untuk meneliti setiap inci pakaian yang kukenakan.
            ” Ec, kau dihukum. Besok kau harus mengumpulkan dua artikel sekaligus !!!,”
            Langsung ditutup. Tanpa mendengar tanggapanku.
            Itu baru dua hari baru saja yang kuciptakan.  Bagaimana kalau semakin banyak lagi hari baru yang kuciptakan? Apakah akan menyenangkan ? Mungkin mereka hanya belum terbiasa dengan dua hari yang kuciptakan. Karena hanya dua hari. Dan setelah dua hari, semuanya berjalan seperti biasa. Belum terlalu membahagiakan, kukira. Jadi ini harus kubuat menjadi bahagia.


Note: Cerpen ini juga sudah lama sekali saya tulis. Mungkin juga sekitar 4 tahun yang lalu (tahun 2007).  Silahkan beri kritik dan ulasan anda mengenai cerpen saya. Re-edit (17/04/2011 11:25).

0 komentar:

Post a Comment

 

Imajinasi Kepala Kaca Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review