Apapun yang terjadi pada Malam, sepertinya Siang tidak akan pernah peduli.
Apakah Malam akan menyesatkan jalan seorang musafir atau Malam akan menunjukkan
jalan yang benar lewat barisan bintang yang membentuk sebuah pertanda.
Sepertinya Siang juga akan tetap tertidur lelap meski Malam menangis karena
kehilangan hitam, atau kehilangan bintangnya yang paling terang, ataukah juga
Malam yang tertawa melihat seseorang tersesat di bawah sayap indahnya, di bawah
rengkuhan dinginnya.
Namun, itu hanya
menjadi sebuah kemungkinan. Malam tak pernah benar-benar menanyakan kenyataan
perasaan itu. Siang pun juga tak akan sekehendak hatinya mengabarkan apa yang
tergantung di ujung batinnya.
Lalu apakah aku yang harus bertanya menggantikan Malam yang sayapnya mulai beku
karena diacuhkan oleh Siang ? Apakah aku juga yang harus bertandang dan mengetuk pintu seraya bertanya,”
Apa yang telah kau rasakan kemarin, apa yang kau rasakan hari ini, dan apa pula
yang sepertinya akan kau rasakan esok pagi ?,”
Aku selamanya
menjadi pembantu Malam yang hanya memandang sudut bumi dengan pandangan
kebisuan. Bulan pun selamanya hanya akan menjadi background Malam yang
kehadirannya hanya indah untuk beberapa orang saja. Karena kebanyakan orang
lebih menyukai Siang. Sebenarnya aku merasa tersiksa menjadi pembantu Malam
yang setiap hari memintanya tertidur agar matanya tidak sebesar bola matahari
esok pagi, juga memintanya menelan sesuatu agar badannya tidak serapuh ranting
pohon yang hancur diinjaknya setiap kali ia berlari.
Hari ini aku mulai membenci Malam.
Kuanggap ia tidak lebih dari seorang pecundang yang keberaniannya diukurnya
sendiri. Kuanggap ia tidak lebih dari seekor tikus yang mengganggu saat aku
ingin tertidur. Mungkin saja Malam juga memandangku sebagai keberanian yang
dimiliki oleh seorang pecundang. Mungkin juga ia akan memandangku sebagai mimpi
yang mengganggu tidur seekor tikus .
Namun, Siang tidak mengizinkanku lelah menatap
Malam, berdiri dalam Malam, dan berbincang dengan Malam. Karena ia tahu aku
sangat mencintai Malam.
Dalam Malam, tidak ada sesuatu yang
dianggap berharga, hingga semua orang rela tertidur lelap daripada berjaga
memandang bunga yang tumbuh di halaman rumah mereka. Sekalipun mereka telah
menanamnya dengan susah payah. Dalam Malam, hanya noda putih yang akan
terlihat, hingga tak ada seorang pun yang bisa merendahkan orang lain. Dalam
Malam juga, aku berbicara pada satu-satunya milikku, sebuah keheningan yang
abadi. Yang dari padanya aku memperoleh banyak kesenangan. Kebahagiaan orang
yang merdeka karena mampu
melihat apa yang seharusnya tidak boleh kulihat. Sebuah kebebasan batin yang
terpenjara antara kabut malam hari dan embun pagi hari. Di dalamnya akan
kutemukan bunga yang tak pernah layu, karena ia merdeka untuk menentukan kapan
ia lelah berdiri di hamparan rumput yang luas. Kutemukan juga bulan yang tidak
berbentuk seperti lingkaran, melainkan segi empat. Kutanyakan padanya kenapa ia seperti itu. Ia
menjawab bahwa ia tidak ingin disukai banyak orang dengan bentuknya yang lazim.
Ia ingin bebas mucul kapan saja ia ingin muncul dan sembunyi saat ia takut menghadapi
hujan yang turun sekenanya. Ia tidak harus terus membuat orang tersenyum saat
hatinya menangis. Juga tidak ingin terlihat indah dan berdiri angkuh saat ia
rapuh dan merasa akan segera jatuh kalau saja kaki-kakinya tidak begitu kuat
menyangga tubuh gempalnya.
Kebebasan batin itu sedang kucari dalam
Malam malam ini. Aku harus mencarinya di bawah rumput yang masih basah terkena
air hujan yang turun sekenanya. Aku juga harus mencarinya di balik bulan atau
dalam bulan itu sendiri. Aku dengar di dalam bulan itu ada sebuah ruang di mana
pemujanya biasa tidur dan menyanyikan lagu kesayangan mereka. Di sana pula
bintang biasanya bersembunyi saat ia tidak ingin mendengar keluhan Malam yang
terdengar begitu mengesalkan. Tapi bagaimana jika aku tidak cukup rendah untuk
merunduk menghampiri rumput yang masih basah ? Bagaimana juga jika aku tidak
cukup tinggi untuk menggapai pintu masuk dalam ruangan milik bulan ? Atau jika
aku boleh bertanya, bagaimana jika aku tidak cukup berani untuk mengkhianati
Malam dengan mencari bintang yang mulai bosan padanya ? Dan kenapa aku
bertanya...
---ooOOoo---
Jejak matahari belum sepenuhnya tersapu. Tetapi awan putih sudah mulai
membentuk komando untuk segera meninggalkan langit. Sepertinya bukan ide yang
baik jika harus mengakhiri hari ini dengan pikiran yang terlalu optimis tentang
apa yang akan kujalani esok pagi. Bergumam tidak akan menjadikan masalah ini terlihat
sedikit lebih menyenangkan. Menjadi sahabatnya pun bukanlah fakta yang terlalu menyenangkan.
Raya ada di dalam sana.
Kalau memang suatu saat nanti aku mempunyai seorang anak, akan
kupastikan Ia punya NPWP setelah Ia bekerja. Jadi ini semua tidak lagi menjadi
masalah bukan?. Akan kuajarkan Ia menjadi seorang warganegara yang baik. Kau
tidak perlu khawatir atau cemas. Kau adalah seorang wanita, jadi kurasa kau pun
tahu apa yang tengah kurasakan.
Dan aku masih ada di luar.
Memandang bangunan putih di depanku tanpa sebuah ekspresi. Hanya berfikir
bahwa itu bukan sebuah piramida yang ingin sekali kukunjungi bersama Raya.
Bukan bangunan dengan 6 juta ton batu untuk membangunnya, terdiri atas 2,5 juta
buah blok batu yang masing-masing beratnya sekitar 2,5 ton. Bukan bangunan yang
pada setiap periode, 25.000 orang bekerja secara bersamaan. Hanya tumpukan
batu-bata yang dilapisi cat putih. Sungguh bukan bangunan yang membuat orang
iri untuk mengunjunginya.
Raya masih ada di dalam sana.
Terasing dari suara tangisan ibunya setiap malam. Dan membuatnya tidak
merdeka untuk mengajakku berdebat tentang pajak atau apapun itu.
Kau tahu, perusahaan semacam itu juga
menyumbang pajak untuk negara. Meskipun produk mereka lebih banyak berguna
untuk orang-orang sepertiku, tapi tidak berarti produk semacam itu harus
dilarang. Yang jelas orang-orang sepertiku sudah berperan mengembangkan
perekonomian negara kita. Itu hal baik bukan ? Mereka bisa terus berproduksi
dan menghidupi ratusan karyawan mereka. Hanya dengan menjual “pengaman”.
Terasnya terasa sangat dingin. Menembus apapun yang tengah kukenakan. Bangunan
ini lebih mirip rumah hantu Amityville,
sebuah lingkungan di pinggiran kota di selatan Long Island, New York, daripada
sebuah rumah sakit. Di sini lebih banyak orang yang meninggal daripada orang yang
sembuh. Aku tidak peduli dengan keluarga Lutz yang membeli rumah hantu tersebut
seharga $80.000 meskipun mereka telah diberitahu bahwa Ronald DeFeo, Jr.,
pemilik sebelumnya, telah menembak mati enam anggota keluarganya di rumah itu.
Aku hanya peduli kenapa mereka mendirikan rumah sakit khusus untuk orang-orang
seperti Raya, padahal mereka sama sekali tidak mempunyai obat untuk penyakit
itu.
Sunyi masih mendominasi. Tidak ada bunyi jarum jam yang berdentang.
Meskipun ini sudah senja dan waktunya untuk berdentang tiga kali. Rasanya
semakin sepi di sini karena tidak ada yang kukenal selain Raya di ujung bangsal
sana. Bungaku untuknya pun kukira tertinggal di kereta. Bukan masalah yang
besar tentunya. Karena Raya pun tidak pernah peduli apa sekarang hidupku masih
baik-baik saja.
Dari jendela-jendela di samping kananku terlihat matahari belum juga
bersedia menyembunyikan dirinya padahal menurutku ini sudah saatnya ia
beristirahat. Tidak ada yang memintanya untuk menjadi penunjuk jalan
sepulangnya aku dari sini. Seperti halnya tidak ada yang memintaku menunggu
Raya keluar dari bangunan ini.
Raya masih tetap ada di dalam sana.
Hmm, kurasa kau kurang menguasai konsep hukum
permintaan yang diajarkan semester lalu. Baiklah, aku akan menjelaskannya
untukmu. Permintaan dari pasar akan rendah saat harga barang itu tinggi. Kau
tahu artinya ? Jangan terlalu mementingkan harga diri kalau kau ingin semua
orang menyukaimu, kalau kau masih ingin
bertahan di lingkungan seperti ini. Karena yang ada kau hanya akan menjadi makhluk
yang asing. Dan tidak ada yang menginginkanmu. [!]
Tiba-tiba aku teringat tentang hal yang kusesalkan di sini, yakni tidak
ada ruang hampa udara yang disediakan untuk menampung pengunjung-pengunjung
sepertiku. Mereka tidak berfikir bahwa itu bisa membantu. Sebuah tempat
tersendiri agar aku bisa berteriak sekencang-kencangnya tanpa harus mengganggu
pasien-pasien mereka Setidaknya agar Raya tidak tahu kalau aku juga menangis
untuknya.
Raya memang selalu lebih pintar dariku. Apapun yang telah ia lakukan, ia
tahu kalau aku akan selalu peduli padanya. Dan apapun yang aku lakukan, aku
tahu kalau ia tidak akan pernah peduli padaku. Tapi menurutku selalu ada
kemungkinan untuk ia peduli. Banyak bangsa-bangsa di dunia yang menganggap
angka 13 adalah angka sial yang harus dihindari setelah masyarakat tahu tentang
numerologi Barat dan China. Tradisi juga membuat itu dipertahankan sampai
sekarang. Hingga China dan negara-negara Eropa tidak mempunyai lantai 13 di
setiap gedung-gedung tinggi mereka. Tapi ternyata perusahaan-perusahaan besar
di Amerika Serikat ada juga yang menggunakan angka 13 sebagai logo perusahaan
mereka, seperti seperti logo McDonalds. Hanya saja angka 13 bisa dilihat jika
logo itu diputar secara vertikal agar tidak terlalu kentara. Akan selalu ada
kemungkinan seperti itu.
Tanganku mulai berkeringat. Tapi aku menjamin ijasah milik Raya akan
baik-baik saja. Masih kutenteng itu dalam map plastik warna biru muda. Gelar
S.E yang baru saja diterima didapatkannya hanya dengan sedikit kerja keras. Tidak
akan begitu sulit untuk Raya. Menjadi sahabatnya pun tidak akan pernah bisa
membuatku lebih pintar darinya.
Kurasa konsep Benchmarking yang diajarkan dalam Cost Accounting memang sangat mudah diterapkan
agat perusahaan itu lebih cepat berkembang. Bahwa kesuksesan perusahaan tidak
hanya diukur melalui omset penjualan dan laba mereka. Tetapi juga diukur dari
kepuasan konsumen, pelanggan, serta kepercayaan dari pihak bank dan pemasok. Seperti
itu pula yang kuinginkan. Selain ijasah, aku juga menginginkan cinta dari semua
orang. Dari sahabat sepertimu. Dari kekasihku. Dari lingkunganku. Dan semua itu
perlu sebuah pengorbanan. Tidak terlalu berat. Bahkan semua ini menyenangkan [!]
Langkahku terhenti. Ujung bangsal ini berakhir di sini. Raya masih ada di
dalam sana. Pastinya ia tidak tengah mempersiapkan vas bunga sebagai wadah
bungaku untuknya yang tertinggal di kereta meskipun ia tengah kesepian. Aku
tidak pernah percaya bahwa ia akan segera mati. Seperti halnya aku tidak
percaya dengan ramalan Jucelino Nobrega da Luz yang adalah orang Brasil yang
salah satu ramalannya mengatakan bahwa pada tanggal 16 Desember tahun 2009 di
wilayah timur Sumatra , Indonesia , akan terjadi 7,8 gempa bumi skala Richter,
ribuan orang tewas. Meskipun ramalannya tentang gempa Tsunami tanggal 26
Desember 2004 pagi hari di propinsi Aceh yang dikirimkannya pada Presiden
Soeharto tanggal 30 April 1997 memang benar-benar terjadi. Tapi aku tetap tidak
ingin percaya bahwa Raya akan segera mati.
Tempat ini terasa begitu asing hari ini. Aku tidak mengenal lagi daun
pintu kamar Raya. Sepertinya Alzeimer tengah memperkenalkan diri padaku. Lama
tertegun membuatku semakin takut untuk menyadari bahwa Raya mungkin tidak lagi
berada di dalam sana. Karena suara keheningan dari dalam sana telah menyadarkan
lamunanku.
Raya seharusnya menungguku menunjukkan ini padanya. Sesuatu yang ia
harapkan empat tahun yang lalu. Tetapi tak ada siapa-siapa. Kelambu putih yang
biasanya membatasi ruang gerakku dengan Raya sudah dibereskan. Hingga aku
tersadar betapa luasnya kamar ini. Betapa banyak jendela yang aku tidak pernah
berdiri di depannya untuk sekedar menunjukkan kepada Raya bahwa matahari di
luar sana selalu terlambat untuk beristirahat.
AIDS
tidak terlalu menyedihkan bukan ? Hal seperti ini tidak akan membuatku
menangis. Setidaknya aku masih bisa membuatmu peduli padaku sebelum aku mati.
July 21st, 2009
0 komentar:
Post a Comment