Asap cerobong kereta itu tidak mengurai di stasiunku. Rangkaian besi tua beroda berlalu begitu saja. Hanya raungan bisingnya yang terngiang di telinga. Bapak tidak naik kereta ini. Atau Bapak tertidur dan turun di stasiun berikutnya? Haruskah kususul kesana? Atau kutunggu saja disini? Ah bapak, harus kuapakan rinduku ini.
Bapak memang tidak pernah berpesan untuk menunggunya di stasiun. Tapi aku khawatir bapak akan lupa jalan pulang. Selama sepuluh tahun ini saja bapak lupa kalau seharusnya turun di stasiun ini, sehingga selama sepuluh tahun pula aku tidak pernah berjumpa dengan bapak. Ah bapak, selama ini engkau turun di stasiun mana?
Bapak, lihatlah, aku membawa dua buah payung. Berjaga kalau-kalau mendung hitam di atas tidak lagi bertahan dan berubah menjadi air hujan. Ayolah bapak, kenapa keretamu tidak segera datang. Kalau hujan terlalu deras, aku takut tidak akan segera bisa mengantarmu pulang ke rumah kita. Payungnya kecil, bapak. Nanti kita akan tetap basah kuyup dan istrimu akan memarahi suami dan anaknya karena hal itu. Tentu saja itu karena ia menyanyangi kita. Kalau nanti hujan terlalu deras, kuharap atap besi kereta tidak berlubang sehingga perjalananmu tidak terganggu.
Apa engkau takut pulang? Lihatlah, anakmu ini mendapat beasiswa di perguruan tinggi. Aku tidak akan meminta sepeserpun uang darimu. Juga ada yang berbaik hati menampung dagangan sayur emak. Emak selalu bisa membeli minyak dan beras dengan uangnya sendiri. Sesekali aku dan adikku membantu mengumpulkan receh dengan berjualan gorengan di minggu pagi. Adikku sudah berumur 15 tahun. Terakhir kali kau melihatnya waktu ia masih belum belum bisa mengusap ingusnya sendiri. Sekarang ia adalah seorang pemuda yang tampan. Dari sudut pandangku tentunya. Tapi kau tentu akan setuju. Ia kan anakmu juga, Bapak.
Sebenarnya apa yang kau lakukan di kota? Kenapa selama sepuluh tahun ini kau tidak pernah menanyakan apakah aku makan dengan baik atau tidak. Setidaknya tanyakan padaku apa aku masih menganggapmu sebagai seorang bapak. Sebenarnya aku membencimu. Sekeras apapun aku mencari jawaban atas kepergianmu, selalu berakhir dengan kemungkinan bahwa mungkin kau sudah bosan hidup susah di sini. Itu yang membuatku iba padamu. Aku pun juga bosan, Bapak. Tapi aku sudah berjanji pada emak akan menjadi orang yang lebih baik dari bapakku sendiri.
Kalau saja dulu aku mengantar kepergianmu ke stasiun, mungkin aku akan tahu kemana arahmu pergi. Tapi aku dulu sibuk mengusap air mata emak setelah kau membuatnya menangis. Kau tahu sendiri kan, wanita kalau sudah menangis akan sulit sekali berhentinya. Belum lagi membereskan gelas-gelas yang kau lempar dan akhirnya pecah. Adikku juga sibuk sendiri meminta emak yang sedang memangis untuk membuatkannya susu. Dulu, kita masih bisa membeli susu meski kau harus menampar emak dulu sebelum memberinya uang. Kalau aku mengingat kejadian hari itu, aku menyesal karena sudah membereskan potongan-potongan kaca dari gelas yang kau pecahkan. Harusnya kubiarkan saja agar kakimu terhalang saat akan melangkah pergi. Bahkan kakimu seharusnya terluka terkena pecahan kaca. Dan kau hanya akan duduk di kursi tua di depan rumah. Tidak langsung pergi. Tapi menghela nafas dalam-dalam dan berfikir dengan jernih. Lalu menyadari bahwa yang kau lakukan tadi adalah sesuatu yang tidak bisa membuat anakmu bangga padamu. Kalau sudah begitu, aku akan membawakan perban untuk kakimu. Meski sebelumnya kau telah menampar emak.
---ooo---
Aku datang lagi, Bapak. Kalau kau tahu bahwa setiap sore aku datang kesini, mungkin kau akan kesal. Bagaimana tidak, kau akan malu kalau tahu bahwa orang-orang di stasiun ini paham kenapa aku disini. Aku bilang pada mereka bahwa aku menunggu bapakku pulang kerja dari kota. Tapi mereka mengatakan bahwa bapakku sudah lupa padaku. Sebenarnya itu benar. Tapi aku selalu kesal kalau mereka mengatakannya padaku. Kenapa mereka tidak membiarkanku sadar dengan sendirinya. Aku tidak suka mereka memojokkanku dengan fakta yang tidak ingin aku dengar. Tolong marahi mereka, Bapak [!].
Sebuah kereta tua berhenti di hadapanku. Ratusan manusia menyeruak dari balik ruangan besi. Lelaku itu…bukan. Atau dia…juga bukan. Pria yang memakai jas itu? Kurasa bukan. Ia terlalu gemuk. Kau kan kurus, Bapak. Tapi bisa saja sekarang kau gemuk. Ah tapi tidak, pria itu terlalu pendek. Lalu, apa lelaki itu? Tunggu, dia menggendong anak. Tentu saja bukan. Ada yang salah dengan otakku. Aku bisa dimarahi istrinya kalau tiba-tiba mendekatinya dan memanggilnya bapak. Lalu sebenarnya kau di sebelah mana? Aku sama sekali tidak bisa membayangkan seperti apa kau sekarang. Sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk perlahan-lahan melupakan raut wajahmu. Itu karena kita belum sempat berfoto sebelum kau pergi. Hingga aku hanya duduk di bangku stasiun ini. Memilah-milah orang yang keluar dari balik rangkaian besi tua. Berharap kau ada di antara mereka. Tidak peduli kau masih kurus atau sudah gemuk, tidak peduli kau menjadi lelaki tua yang tampan atau pria kumuh yang bau, aku akan langsung memelukmu.
Banyak sekali hal yang ingin kuceritakan padamu, Bapak. Aku ingin kita bisa saling berbagi seperti sebuah keluarga. Di kepalaku ini tersimpan cerita-cerita yang tentu akan asyik kalau kita membahasnya berdua dan dadaku terasa sempit jika aku berusaha untuk menyimpannya sendiri. Kemarin aku memergoki adikku merokok di perempatan gang bersama teman-teman sekolahnya. Betapa aku ingin sekali menamparnya karena aku tidak suka ia menjadi sepertimu. Dan aku ingin sekali menceritakannya padamu. Melihat ekspresimu dan menduga-duga apa yang akan kau lakukan terhadap adikku. Apakah kau akan marah, kecewa atau malah akan memakluminya karena merokok adalah urusan lelaki dan sebagai wanita aku tidak akan bisa memahaminya.
Aku marah karena tidak bisa seperti putri orang lain. Kulihat mereka hampir tiap sore bercengkerama dengan bapak mereka di teras rumah. Aku sempat melihat juga salah satu dari mereka dimarahi bapaknya karena pulang terlalu malam. Betapa aku ingin kau memarahiku juga, Bapak. Aku tidak pernah pulang terlalu malam, tapi kau bisa memarahiku untuk hal-hal sepele, seperti lupa menaruh kunci, ketiduran di sekolah, atau apalah. Carilah alasan untuk memarahiku. Pulanglah untuk bisa memarahiku.
Kau tidak ingin melihat hamparan sawah di sepanjang jalan menuju rumah kita? Aku selalu melihat kota-kota besar dari televisi. Di sana tidak ada sawah. Pulanglah, Bapak. Aku akan membuatmu merasa kalau tempat ini jauh lebih damai.
Terkadang aku berpikir bahwa mungkin saja kau sudah tiada. Terkena penyakit kronis atau karena kecelakaan di jalan raya. Tentu saja bukan karena terlalu merindukan keluargamu lantas kau sakit dan meninggal. Itu akan lucu sekali. Karena kau bisa saja pulang ke sini. Kami tidak pernah kemana-mana. Rumah kita yang dulu hanya dipermak sedikit dengan cat baru yang tidak terlalu mahal kubeli. Tapi sepertinya kau masih hidup. Keyakinanku masih demikian.
Aku tidak tahu apakah emak sudah memaafkanmu. Emak tidak pernah menyebut namamu selama sepuluh tahun ini. Meskipun begitu, bukan berarti Emak membencimu. Mungkin Ia hanya tidak siap menerima fakta bahwa bagaimanapun kau adalah bapakku. Meski kau kerapkali menamparnya. Bukankah seharusnya Emak yang meninggalkanmu? Kenapa egomu tinggi sekali sehingga kau yang pergi duluan meninggalkan kami. Harusnya kami yang mengusirmu. Membiarkanmu hidup di jalanan dan mencabut nama belakang yang kau berikan padaku dan adikku.
Aku masih tidak tahu kenapa kau memilih meninggalkan emak. Saat itu kau masih bisa memilih untuk tetap tinggal demi aku dan adikku. Aku juga tidak tahu kenapa aku masih menunggumu di stasiun tua, menunggu kereta yang tak kalah tua. Ah Bapak, meskipun aku menyadari bahwa kau memang sudah melupakan kami, tahun ini menjadi tahun kesebelas untukku, menghabiskan hari-hariku menunggumu di stasiun, menyambut kepulanganmu yang membawa sekardus penuh oleh-oleh dari kota. Kukira.
0 komentar:
Post a Comment