Saturday, June 8, 2013

SAMPUL ABU-ABU

Posting on Rosania Rossa di Saturday, June 08, 2013 0 komentar

Bunda, di sini ada yang mengatakan padaku kalau masa depanku tak harus bersampul biru.
    Mereka membuatku tak bisa tersenyum, Bunda. Karena sepanjang aku berjalan di emperan toko-toko ternama, sampul biru sudah pada habis terjual. Mereka, para pemilik toko itu, tak menungguku datang ke Jakarta, Bunda. Mereka menyisakan sampul abu-abu yang sudah lama, usang, dan sama seperti punya kita di Surabaya. Lalu untuk apa aku membelinya ?
   Aku pun berjalan lagi, Bunda. memandang semua etalase, tapi tak satu pun sampul biru kutemui. Sampul abu-abu itu kembali muncul dan membayangi bayangan kakiku yang hendak melangkah, Bunda. Mungkin ia sudah dibuang oleh pemiliknya. Sudah kukatakan padanya kalau aku sudah punya. Tapi apa katanya, Bunda.
” Aku terlihat abu-abu di Jakarta, tapi mungkin takkan terlihat abu-abu di Surabaya,” Bagaimana mungkin, Bunda ? Aku hanya bisa bertanya padamu. Karena jika aku membuka percakapan lagi dengan sampul abu-abu itu, ia akan terus menawarkan dirinya untuk ikut pulang ke Surabaya meskipun aku tak membelikannya karcis kereta.

            Menjadi guru bukanlah harapanku, Bunda. Aku tak melihat profesi guru sebagai sampul biru yang bisa membuatku tersenyum kelak di hari tua. Untuk apa aku datang ke Jakarta jika hanya untuk menjadi guru ?. Tidak, Bunda. Aku berpamitan padamu dan pada (mantan) murid-muridku untuk menjadi orang sukses di Jakarta. Itu manusiawi bukan, Bunda ?. Kukira tak apa aku meninggalkan gedung sekolah tua itu dan meminta Hendra untuk menambah jadwalnya mengajar. Hanya 3 kelas dengan murid paling banyak 8 orang, Bunda. Itupun kalau mereka berhasil ’melarikan diri’ dari sawah dan orang tua mereka yang tak mengijinkan mereka sekolah hanya karena merasa malu jika untuk kesekian kalinya harus menghadapiku dan mengatakan bahwa tidak ada uang untuk membayar. Kukira Hendra tak akan menyalahkanku dan takkan keberatan mengajar sendirian. Ia juga pasti tahu kalau aku bisa untuk jadi lebih dari seorang guru yang harus menempuh perjalanan selama kurang lebih 2 jam lamanya dari rumah hanya untuk sekedar mengajar di bangunan tua namun dengan sejumlah kecil murid yang semangatnya tak pernah tua. Harus melewati kali yang airnya kadang kugunakan untuk bercermin. Juga harus memakai sepatu bot karena jalanan selalu berlumpur. Aku tidak ingin selamanya bersampul abu-abu, Bunda.  Aku tak akan membawa ingatan tentang semangat mereka, semangat murid-muridku, ke Jakarta. Itu hanya akan mengendorkan semangat milikku sendiri untuk bisa lebih dari seorang guru.
             Hari ini aku mulai berkeliling Jakarta. Mungkin lebih tepatnya keluar-masuk beberapa perusahaan saja. Aku bahkan belum sempat melihat Monas, Bunda. Hanya karena ingin segera kudapatkan sampul biru untuk masa depanku. Mendapat pekerjaan yang selayaknya pantas kubanggakan padamu, Bunda. Meskipun kau pernah berkata dengan bangga bahwa putramu adalah seorang guru. Aku menjamin kali ini kau akan merasa lebih bangga, Bunda.
            Tapi lima menit ini aku kehilangan rasa banggaku, Bunda. Rasa bangga dengan ijazah pendidikan komputerku karena semuanya rata-rata mengatakan bahwa tidak ada hal yang bisa kukerjakan di sana. Mereka tidak memberiku kesempatan barang sehari dua hari untuk merasakan bekerja dengan komputer pribadi dan duduk di belakang meja tanpa harus bepikir keras bagaimana caranya mencari kata-kata yang tepat agar murid-muridku mengerti dengan apa yang kusampaikan.
            Aku mulai putus asa, Bunda. Dan dalam keputus asaanku ini aku pergi ke stasiun. Entah kenapa. Mungkin karena langkahku ke Jakarta berawal dari sini dan seakan-akan hanya tempat inilah yang kukenal. Karena di sini banyak manusia yang kehidupannya bersampul abu-abu. Tak ada bedanya denganku kukira. Tapi tak ada yang bisa kukatakan padamu tentang Jakarta, Bunda. Karena memang tak ada yang kutahu selain di sini kukira ada banyak orang yang kan memihakku untuk tidak menjadi seorang guru.
            Bunda, ada orang yang menghampiriku. Tapi aku tidak terlalu peduli. Bahkan aku tidak peduli apa nama stasiun ini meskipun untuk sekedar berjaga-jaga kalau nantinya aku tersesat karena aku terlalu yakin kalau aku akan membutuhkan stasiun ini baru beberapa tahun kemudian untuk mengunjungimu dan ceritakan semua tentang Jakarta. Saat itu akan banyak yang kuketahui tentang Jakarta.
            Lelaki setengah baya itu semakin mendekat. Mungkin, Bunda, ia melihatku sebagai sesosok manusia yang terbungkus sampul abu-abu. Warna abu-abu yang seperti warna mendung di Surabaya. Saat ini aku tengah dilihatnya berdiri di depan tempat tunggu penumpang dan ia bertanya padaku seakan aku memang orang yang tak bisa menyembunyikan kebingunganku. Tapi dalam tatapan matanya seakan ia mengira kalau aku bisa saja salah seorang dari kelompok orang yang sesekali mencuri besi-besi rel kereta untuk sekedar bisa membuat orang sepertinya dalam masalah.
            ” Mencari kerja ?,” Aku hanya mengangguk. Aku rasa tidak ada untungnya aku memperkenalkan diri, mengatakan siapa aku, dan datang dari mana. Tidak, Bunda. Orang ini sepertinya hanya seperti pedagang asongan yang tadi kutemui di kereta. Sekedar pertanyaan basa-basi. Memperlihatkan kalau ia juga masih tergolong orang yang ramah. Apa orang seperti abang ini bisa membentuku mendapat pekerjaan di Jakarta….selain guru.
            Kami pun lama berbincang. Ia menceritakan tentang sampul abu-abu yang dimilikinya padaku. Istrinya yang hanya wanita rumahan tapi dengan dua anaknya yang tetap sekolah. Abang itu bernama Herman, Bunda. Ia menjadi tukang sapu di stasiun yang aku tak tahu namanya ini.
            ” Sepertinya abang benar-benar mengenal Jakarta dengan baik. Saya Hamdi dari Surabaya,”
            ” Setiap hari ada banyak orang seperti kau yang datang ke Jakarta lewat stasiun sini. Dan abang yakin banyak orang yang sukses berawal dari stasiun ini. Semoga saja kau beruntung, Ham. Apalagi setelah kuperhatikan kau ini orang yang pandai bicara. Kau pernah berkerja sebelumnya ?,”
            Ia memanggil dirinya abang. Persis seperti yang kuucapkan. Kelihatannya abang Herman ini tahu banyak hal yang bisa membuatnya bertahan di Jakarta. Semua orang juga akan merasa nyaman berada di samping orang yang bisa menghargai apa yang mereka pikirkan, meskipun terkadang pemikiran yang aneh dan mengesalkan. Dan aku berpikir kalau abang Herman ini sedikit kelihatan lebih muda dari usianya yang setelah kutanyakan padanya adalah 30 tahun. Ia menyetujuinya.
            ” Dulu saya guru, bang. Tapi saya rasa menjadi guru tidak bisa banyak membantu saya, makanya saya mencari pekerjaan lain di Jakarta. Bukannya saya egois, bang, tapi hidup ini harus memandang realita kan, bang ?,”
            ” Itulah kenapa, Ham, kadang abang tidak ingin anak-anak abang meneruskan sekolah. Bukan soal biaya. Tapi kalau anak-anak abang mendapat seorang guru seperti kau. Mereka lebih baik tidak semangat sejak awal untuk sekolah daripada nantinya akan kecewa dan patah sekolah jika gurunya tidak akan atau kalau sepertimu dikatakan tidak ingin lagi mengajar,”
            ” Maksud abang ?,” Aku sedikit tersinggung. Guru seperti aku…?
            ” Kalau mereka sudah patah semangat, mereka hanya akan banyak bermain-main. Karena mereka menganggap tidak ada lagi yang memperhatikan. Setelah itu abang yakin kalau masa depan pendidikan bangsa kita ini bersampul abu-abu,”
            Ya, Tuhan, Bunda, abang Herman itu juga tahu tentang sampul abu-abu yang selama ini hanya kuceritakan padamu. Dan ia bicara tentang masa depan pendidikan.
            ” Tapi bang, bangsa kita masih punya banyak guru, bukan ? Saya rasa abang terlalu melebih-lebihkan,”
            ” Bangsa kita juga punya banyak tukang sapu. Bahkan apa yang bisa dibanggakan dari seorang tukang sapu. Tapi abang mencoba bekerja dengan nurani karena hannya itu yang abang punya. Apa jadinya kalau semua orang jadi pengusaha ? Bukankah akan banyak sampah yang menumpuk? Abang hanya lulusan SD, Ham. Tidak banyak yang abang ketahui tentang dunia pendidikan. Tapi yang abang tahu seorang guru sepertimu dikaruniai lebih banyak nurani ketimbang tukang sapu seperti abang,”
            ” Bang, bukankah manusiawi kalau saya berusaha memperbaiki keadaan saya. Dulu saya senang menjadi guru tapi realitanya kehidupan ini harus terus berjalan,”
            ” Abang tidak menyalahkanmu. Abang tidak merasa telah lama mengenalmu lantas berhak menilaimu. Anggap saja abang mewakili orang tua murid yang ada di Indonesia ini untuk memintamu terus mengajar. Abang menganggapmu sebagai orang yang penting. Memang banyak guru, Ham, tapi masih banyak lagi anak-anak yang punya semangat yang tak pernah tua untuk datang ke sekolah sekedar mengetahui apa nama orang yang mengemudikan kereta api…dari gurunya. Selagi kau masih hidup, Tuhan tidak akan lupa untuk memberi kita makan,”
            ” Kenapa abang peduli sekali dengan saya ?,”
            ” Seperti yang abang bilang tadi. Karena kau orang penting untuk bangsa kita. Kau tahu, sedikit untuk membuatmu semangat kembali, orang yang ada di foto itu..,” Ia menunjuk foto Presiden RI,”…Beliau juga bisa menjadi seperti ini karena jasa orang yang punya lebih banyak nurani daripada tukang sapu, yakni guru. Ham, jangan berpikir tidak ada yang akan kehilanganmu dengan keputusanmu itu,”
            Lalu abang Herman itu pergi, Bunda. Tanpa aku bisa mendengar suaraku sendiri untuk menanggapinya. Aku terdiam, Bunda. Aku rasa sudah sedari tadi aku terdiam.  Persis diam yang kurasakan saat aku mencoba membuat murid-muridku tenang agar pelajaran tak terganggu. Apa kabarnya mereka, Bunda ? Benarkah bagi mereka aku adalah orang yang penting ?. Teramat penting ?.
            Bunda, saat melihat kereta melintas, aku merindukanmu. Saat melihat asap mengepul dari gerbong terdepan, aku merindukan murid-muridku. Saat aku melihat jendela-jendela kereta dan para penumpang membuat keramaian, aku merindukan  lumpur yang menempel di sepatu bootku, merindukan kali yang airnya kadang kugunakan untuk bercermin.
            Bunda, tanpa aku sadari telah kubawa serta semangat murid-muridku itu ke Jakarta. Dan aku harus mengembalikannya kembali ke Surabaya.  Dan saat inilah aku tahu apa nama kereta yang kutumpangi, Bunda, sekedar menyenangkanmu kalau ada kenang-kenangan yang kubawa dari Jakarta.
            Sedikit banyak aku boleh menghibur hatiku kan, Bunda, kalau aku juga  orang penting di dunia pendidikan. Tanpa ada guru maka tidak ada pendidikan yang terlaksana dan karenanya Menteri Pendidikan kita tidak akan mendapat pekerjaan. Karena itu akan membuatku lebih semangat. Kalau pun aku dianggap tidak penting nantinya, aku akan tetap mengajar. Tidak akan membiarkan murid-muridku punya kesempatan mencuri besi rel kereta.

            Abu-abu juga warna kan, Bunda ?



Notes:
Runner Up in Short Story Competition (High School Level) se-eks Karisidenan Surakarta that was held  by UNS in 2007 (Theme: Masa Depan Pendidikan Indonesia)


Tuesday, June 4, 2013

SE

Posting on Rosania Rossa di Tuesday, June 04, 2013 0 komentar

Apapun yang terjadi pada Malam, sepertinya Siang tidak akan pernah peduli. Apakah Malam akan menyesatkan jalan seorang musafir atau Malam akan menunjukkan jalan yang benar lewat barisan bintang yang membentuk sebuah pertanda. Sepertinya Siang juga akan tetap tertidur lelap meski Malam menangis karena kehilangan hitam, atau kehilangan bintangnya yang paling terang, ataukah juga Malam yang tertawa melihat seseorang tersesat di bawah sayap indahnya, di bawah rengkuhan dinginnya.
   Namun, itu hanya menjadi sebuah kemungkinan. Malam tak pernah benar-benar menanyakan kenyataan perasaan itu. Siang pun juga tak akan sekehendak hatinya mengabarkan apa yang tergantung di ujung batinnya. Lalu apakah aku yang harus bertanya menggantikan Malam yang sayapnya mulai beku karena diacuhkan oleh Siang ? Apakah aku juga yang harus bertandang dan mengetuk pintu seraya bertanya,” Apa yang telah kau rasakan kemarin, apa yang kau rasakan hari ini, dan apa pula yang sepertinya akan kau rasakan esok pagi ?,”
   Aku selamanya menjadi pembantu Malam yang hanya memandang sudut bumi dengan pandangan kebisuan. Bulan pun selamanya hanya akan menjadi background Malam yang kehadirannya hanya indah untuk beberapa orang saja. Karena kebanyakan orang lebih menyukai Siang. Sebenarnya aku merasa tersiksa menjadi pembantu Malam yang setiap hari memintanya tertidur agar matanya tidak sebesar bola matahari esok pagi, juga memintanya menelan sesuatu agar badannya tidak serapuh ranting pohon yang hancur diinjaknya setiap kali ia berlari.
Hari ini aku mulai membenci Malam. Kuanggap ia tidak lebih dari seorang pecundang yang keberaniannya diukurnya sendiri. Kuanggap ia tidak lebih dari seekor tikus yang mengganggu saat aku ingin tertidur. Mungkin saja Malam juga memandangku sebagai keberanian yang dimiliki oleh seorang pecundang. Mungkin juga ia akan memandangku sebagai mimpi yang mengganggu tidur seekor tikus .
Namun, Siang tidak mengizinkanku lelah menatap Malam, berdiri dalam Malam, dan berbincang dengan Malam. Karena ia tahu aku sangat mencintai Malam.
Dalam Malam, tidak ada sesuatu yang dianggap berharga, hingga semua orang rela tertidur lelap daripada berjaga memandang bunga yang tumbuh di halaman rumah mereka. Sekalipun mereka telah menanamnya dengan susah payah. Dalam Malam, hanya noda putih yang akan terlihat, hingga tak ada seorang pun yang bisa merendahkan orang lain. Dalam Malam juga, aku berbicara pada satu-satunya milikku, sebuah keheningan yang abadi. Yang dari padanya aku memperoleh banyak kesenangan. Kebahagiaan orang yang merdeka karena mampu melihat apa yang seharusnya tidak boleh kulihat. Sebuah kebebasan batin yang terpenjara antara kabut malam hari dan embun pagi hari. Di dalamnya akan kutemukan bunga yang tak pernah layu, karena ia merdeka untuk menentukan kapan ia lelah berdiri di hamparan rumput yang luas. Kutemukan juga bulan yang tidak berbentuk seperti lingkaran, melainkan segi empat. Kutanyakan padanya kenapa ia seperti itu. Ia menjawab bahwa ia tidak ingin disukai banyak orang dengan bentuknya yang lazim. Ia ingin bebas mucul kapan saja ia ingin muncul dan sembunyi saat ia takut menghadapi hujan yang turun sekenanya. Ia tidak harus terus membuat orang tersenyum saat hatinya menangis. Juga tidak ingin terlihat indah dan berdiri angkuh saat ia rapuh dan merasa akan segera jatuh kalau saja kaki-kakinya tidak begitu kuat menyangga tubuh gempalnya.
Kebebasan batin itu sedang kucari dalam Malam malam ini. Aku harus mencarinya di bawah rumput yang masih basah terkena air hujan yang turun sekenanya. Aku juga harus mencarinya di balik bulan atau dalam bulan itu sendiri. Aku dengar di dalam bulan itu ada sebuah ruang di mana pemujanya biasa tidur dan menyanyikan lagu kesayangan mereka. Di sana pula bintang biasanya bersembunyi saat ia tidak ingin mendengar keluhan Malam yang terdengar begitu mengesalkan. Tapi bagaimana jika aku tidak cukup rendah untuk merunduk menghampiri rumput yang masih basah ? Bagaimana juga jika aku tidak cukup tinggi untuk menggapai pintu masuk dalam ruangan milik bulan ? Atau jika aku boleh bertanya, bagaimana jika aku tidak cukup berani untuk mengkhianati Malam dengan mencari bintang yang mulai bosan padanya ? Dan kenapa aku bertanya...

---ooOOoo---

Jejak matahari belum sepenuhnya tersapu. Tetapi awan putih sudah mulai membentuk komando untuk segera meninggalkan langit. Sepertinya bukan ide yang baik jika harus mengakhiri hari ini dengan pikiran yang terlalu optimis tentang apa yang akan kujalani esok pagi. Bergumam tidak akan menjadikan masalah ini terlihat sedikit lebih menyenangkan. Menjadi sahabatnya pun bukanlah  fakta yang terlalu menyenangkan.
Raya ada di dalam sana.

 Kalau memang suatu saat nanti aku mempunyai seorang anak, akan kupastikan Ia punya NPWP setelah Ia bekerja. Jadi ini semua tidak lagi menjadi masalah bukan?. Akan kuajarkan Ia menjadi seorang warganegara yang baik. Kau tidak perlu khawatir atau cemas. Kau adalah seorang wanita, jadi kurasa kau pun tahu apa yang tengah kurasakan.

Dan aku masih ada di luar.
Memandang bangunan putih di depanku tanpa sebuah ekspresi. Hanya berfikir bahwa itu bukan sebuah piramida yang ingin sekali kukunjungi bersama Raya. Bukan bangunan dengan 6 juta ton batu untuk membangunnya, terdiri atas 2,5 juta buah blok batu yang masing-masing beratnya sekitar 2,5 ton. Bukan bangunan yang pada setiap periode, 25.000 orang bekerja secara bersamaan. Hanya tumpukan batu-bata yang dilapisi cat putih. Sungguh bukan bangunan yang membuat orang iri untuk mengunjunginya.
Raya masih ada di dalam sana.
Terasing dari suara tangisan ibunya setiap malam. Dan membuatnya tidak merdeka untuk mengajakku berdebat tentang pajak atau apapun itu.

Kau tahu, perusahaan semacam itu juga menyumbang pajak untuk negara. Meskipun produk mereka lebih banyak berguna untuk orang-orang sepertiku, tapi tidak berarti produk semacam itu harus dilarang. Yang jelas orang-orang sepertiku sudah berperan mengembangkan perekonomian negara kita. Itu hal baik bukan ? Mereka bisa terus berproduksi dan menghidupi ratusan karyawan mereka. Hanya dengan menjual “pengaman”.

Terasnya terasa sangat dingin. Menembus apapun yang tengah kukenakan. Bangunan ini lebih mirip rumah hantu  Amityville, sebuah lingkungan di pinggiran kota di selatan Long Island, New York, daripada sebuah rumah sakit. Di sini lebih banyak orang yang meninggal daripada orang yang sembuh. Aku tidak peduli dengan keluarga Lutz yang membeli rumah hantu tersebut seharga $80.000 meskipun mereka telah diberitahu bahwa Ronald DeFeo, Jr., pemilik sebelumnya, telah menembak mati enam anggota keluarganya di rumah itu. Aku hanya peduli kenapa mereka mendirikan rumah sakit khusus untuk orang-orang seperti Raya, padahal mereka sama sekali tidak mempunyai obat untuk penyakit itu.
Sunyi masih mendominasi. Tidak ada bunyi jarum jam yang berdentang. Meskipun ini sudah senja dan waktunya untuk berdentang tiga kali. Rasanya semakin sepi di sini karena tidak ada yang kukenal selain Raya di ujung bangsal sana. Bungaku untuknya pun kukira tertinggal di kereta. Bukan masalah yang besar tentunya. Karena Raya pun tidak pernah peduli apa sekarang hidupku masih baik-baik saja.
Dari jendela-jendela di samping kananku terlihat matahari belum juga bersedia menyembunyikan dirinya padahal menurutku ini sudah saatnya ia beristirahat. Tidak ada yang memintanya untuk menjadi penunjuk jalan sepulangnya aku dari sini. Seperti halnya tidak ada yang memintaku menunggu Raya keluar dari bangunan ini.
Raya masih tetap ada di dalam sana.

Hmm, kurasa kau kurang menguasai konsep hukum permintaan yang diajarkan semester lalu. Baiklah, aku akan menjelaskannya untukmu. Permintaan dari pasar akan rendah saat harga barang itu tinggi. Kau tahu artinya ? Jangan terlalu mementingkan harga diri kalau kau ingin semua orang  menyukaimu, kalau kau masih ingin bertahan di lingkungan seperti ini. Karena yang ada kau hanya akan menjadi makhluk yang asing. Dan tidak ada yang menginginkanmu. [!]

Tiba-tiba aku teringat tentang hal yang kusesalkan di sini, yakni tidak ada ruang hampa udara yang disediakan untuk menampung pengunjung-pengunjung sepertiku. Mereka tidak berfikir bahwa itu bisa membantu. Sebuah tempat tersendiri agar aku bisa berteriak sekencang-kencangnya tanpa harus mengganggu pasien-pasien mereka Setidaknya agar Raya tidak tahu kalau aku juga menangis untuknya.  
Raya memang selalu lebih pintar dariku. Apapun yang telah ia lakukan, ia tahu kalau aku akan selalu peduli padanya. Dan apapun yang aku lakukan, aku tahu kalau ia tidak akan pernah peduli padaku. Tapi menurutku selalu ada kemungkinan untuk ia peduli. Banyak bangsa-bangsa di dunia yang menganggap angka 13 adalah angka sial yang harus dihindari setelah masyarakat tahu tentang numerologi Barat dan China. Tradisi juga membuat itu dipertahankan sampai sekarang. Hingga China dan negara-negara Eropa tidak mempunyai lantai 13 di setiap gedung-gedung tinggi mereka. Tapi ternyata perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat ada juga yang menggunakan angka 13 sebagai logo perusahaan mereka, seperti seperti logo McDonalds. Hanya saja angka 13 bisa dilihat jika logo itu diputar secara vertikal agar tidak terlalu kentara. Akan selalu ada kemungkinan seperti itu.
Tanganku mulai berkeringat. Tapi aku menjamin ijasah milik Raya akan baik-baik saja. Masih kutenteng itu dalam map plastik warna biru muda. Gelar S.E yang baru saja diterima didapatkannya hanya dengan sedikit kerja keras. Tidak akan begitu sulit untuk Raya. Menjadi sahabatnya pun tidak akan pernah bisa membuatku lebih pintar darinya.

Kurasa konsep Benchmarking yang diajarkan dalam Cost Accounting memang sangat mudah diterapkan agat perusahaan itu lebih cepat berkembang. Bahwa kesuksesan perusahaan tidak hanya diukur melalui omset penjualan dan laba mereka. Tetapi juga diukur dari kepuasan konsumen, pelanggan, serta kepercayaan dari pihak bank dan pemasok. Seperti itu pula yang kuinginkan. Selain ijasah, aku juga menginginkan cinta dari semua orang. Dari sahabat sepertimu. Dari kekasihku. Dari lingkunganku. Dan semua itu perlu sebuah pengorbanan. Tidak terlalu berat. Bahkan semua ini menyenangkan [!]

Langkahku terhenti. Ujung bangsal ini berakhir di sini. Raya masih ada di dalam sana. Pastinya ia tidak tengah mempersiapkan vas bunga sebagai wadah bungaku untuknya yang tertinggal di kereta meskipun ia tengah kesepian. Aku tidak pernah percaya bahwa ia akan segera mati. Seperti halnya aku tidak percaya dengan ramalan Jucelino Nobrega da Luz yang adalah orang Brasil yang salah satu ramalannya mengatakan bahwa pada tanggal 16 Desember tahun 2009 di wilayah timur Sumatra , Indonesia , akan terjadi 7,8 gempa bumi skala Richter, ribuan orang tewas. Meskipun ramalannya tentang gempa Tsunami tanggal 26 Desember 2004 pagi hari di propinsi Aceh yang dikirimkannya pada Presiden Soeharto tanggal 30 April 1997 memang benar-benar terjadi. Tapi aku tetap tidak ingin percaya bahwa Raya akan segera mati.
Tempat ini terasa begitu asing hari ini. Aku tidak mengenal lagi daun pintu kamar Raya. Sepertinya Alzeimer tengah memperkenalkan diri padaku. Lama tertegun membuatku semakin takut untuk menyadari bahwa Raya mungkin tidak lagi berada di dalam sana. Karena suara keheningan dari dalam sana telah menyadarkan lamunanku.
Raya seharusnya menungguku menunjukkan ini padanya. Sesuatu yang ia harapkan empat tahun yang lalu. Tetapi tak ada siapa-siapa. Kelambu putih yang biasanya membatasi ruang gerakku dengan Raya sudah dibereskan. Hingga aku tersadar betapa luasnya kamar ini. Betapa banyak jendela yang aku tidak pernah berdiri di depannya untuk sekedar menunjukkan kepada Raya bahwa matahari di luar sana selalu terlambat untuk beristirahat.

AIDS tidak terlalu menyedihkan bukan ? Hal seperti ini tidak akan membuatku menangis. Setidaknya aku masih bisa membuatmu peduli padaku sebelum aku mati. 


July 21st, 2009
 

Imajinasi Kepala Kaca Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review