Bunda,
di sini ada yang mengatakan padaku kalau masa depanku tak harus bersampul biru.
Mereka membuatku tak bisa tersenyum,
Bunda. Karena sepanjang aku berjalan di emperan toko-toko ternama, sampul biru
sudah pada habis terjual. Mereka, para pemilik toko itu, tak menungguku datang
ke Jakarta, Bunda. Mereka menyisakan sampul abu-abu yang sudah lama, usang, dan
sama seperti punya kita di Surabaya. Lalu untuk apa aku membelinya ?
Aku pun berjalan lagi, Bunda.
memandang semua etalase, tapi tak satu pun sampul biru kutemui. Sampul abu-abu
itu kembali muncul dan membayangi bayangan kakiku yang hendak melangkah, Bunda.
Mungkin ia sudah dibuang oleh pemiliknya. Sudah kukatakan padanya kalau aku
sudah punya. Tapi apa katanya, Bunda.
” Aku terlihat abu-abu di Jakarta, tapi mungkin
takkan terlihat abu-abu di Surabaya,” Bagaimana mungkin, Bunda ? Aku hanya bisa
bertanya padamu. Karena jika aku membuka percakapan lagi dengan sampul abu-abu
itu, ia akan terus menawarkan dirinya untuk ikut pulang ke Surabaya meskipun
aku tak membelikannya karcis kereta.
Menjadi guru bukanlah harapanku,
Bunda. Aku tak melihat profesi guru sebagai sampul biru yang bisa membuatku
tersenyum kelak di hari tua. Untuk apa aku datang ke Jakarta jika hanya untuk
menjadi guru ?. Tidak, Bunda. Aku berpamitan padamu dan pada (mantan)
murid-muridku untuk menjadi orang sukses di Jakarta. Itu manusiawi bukan, Bunda
?. Kukira tak apa aku meninggalkan gedung sekolah tua itu dan meminta Hendra
untuk menambah jadwalnya mengajar. Hanya 3 kelas dengan murid paling banyak 8
orang, Bunda. Itupun kalau mereka berhasil ’melarikan diri’ dari sawah dan
orang tua mereka yang tak mengijinkan mereka sekolah hanya karena merasa malu
jika untuk kesekian kalinya harus menghadapiku dan mengatakan bahwa tidak ada
uang untuk membayar. Kukira Hendra tak akan menyalahkanku dan takkan keberatan
mengajar sendirian. Ia juga pasti tahu kalau aku bisa untuk jadi lebih dari
seorang guru yang harus menempuh perjalanan selama kurang lebih 2 jam lamanya
dari rumah hanya untuk sekedar mengajar di bangunan tua namun dengan sejumlah
kecil murid yang semangatnya tak pernah tua. Harus melewati kali yang airnya
kadang kugunakan untuk bercermin. Juga harus memakai sepatu bot karena jalanan
selalu berlumpur. Aku tidak ingin selamanya bersampul abu-abu, Bunda. Aku tak akan membawa ingatan tentang semangat
mereka, semangat murid-muridku, ke Jakarta. Itu hanya akan mengendorkan
semangat milikku sendiri untuk bisa lebih dari seorang guru.
Hari ini aku mulai berkeliling Jakarta.
Mungkin lebih tepatnya keluar-masuk beberapa perusahaan saja. Aku bahkan belum
sempat melihat Monas, Bunda. Hanya karena ingin segera kudapatkan sampul biru
untuk masa depanku. Mendapat pekerjaan yang selayaknya pantas kubanggakan
padamu, Bunda. Meskipun kau pernah berkata dengan bangga bahwa putramu adalah
seorang guru. Aku menjamin kali ini kau akan merasa lebih bangga, Bunda.
Tapi lima menit ini aku kehilangan
rasa banggaku, Bunda. Rasa bangga dengan ijazah pendidikan komputerku karena
semuanya rata-rata mengatakan bahwa tidak ada hal yang bisa kukerjakan di sana.
Mereka tidak memberiku kesempatan barang sehari dua hari untuk merasakan
bekerja dengan komputer pribadi dan duduk di belakang meja tanpa harus bepikir
keras bagaimana caranya mencari kata-kata yang tepat agar murid-muridku
mengerti dengan apa yang kusampaikan.
Aku mulai putus asa, Bunda. Dan
dalam keputus asaanku ini aku pergi ke stasiun. Entah kenapa. Mungkin karena
langkahku ke Jakarta berawal dari sini dan seakan-akan hanya tempat inilah yang
kukenal. Karena di sini banyak manusia yang kehidupannya bersampul abu-abu. Tak
ada bedanya denganku kukira. Tapi tak ada yang bisa kukatakan padamu tentang
Jakarta, Bunda. Karena memang tak ada yang kutahu selain di sini kukira ada
banyak orang yang kan memihakku untuk tidak menjadi seorang guru.
Bunda, ada orang yang menghampiriku.
Tapi aku tidak terlalu peduli. Bahkan aku tidak peduli apa nama stasiun ini
meskipun untuk sekedar berjaga-jaga kalau nantinya aku tersesat karena aku
terlalu yakin kalau aku akan membutuhkan stasiun ini baru beberapa tahun
kemudian untuk mengunjungimu dan ceritakan semua tentang Jakarta. Saat itu
akan banyak yang kuketahui tentang Jakarta.
Lelaki setengah baya itu semakin
mendekat. Mungkin, Bunda, ia melihatku sebagai sesosok manusia yang terbungkus
sampul abu-abu. Warna abu-abu yang seperti warna mendung di Surabaya. Saat ini
aku tengah dilihatnya berdiri di depan tempat tunggu penumpang dan ia bertanya
padaku seakan aku memang orang yang tak bisa menyembunyikan kebingunganku. Tapi
dalam tatapan matanya seakan ia mengira kalau aku bisa saja salah seorang dari
kelompok orang yang sesekali mencuri besi-besi rel kereta untuk sekedar bisa
membuat orang sepertinya dalam masalah.
” Mencari kerja ?,” Aku hanya
mengangguk. Aku rasa tidak ada untungnya aku memperkenalkan diri, mengatakan
siapa aku, dan datang dari mana. Tidak, Bunda. Orang ini sepertinya hanya
seperti pedagang asongan yang tadi kutemui di kereta. Sekedar pertanyaan
basa-basi. Memperlihatkan kalau ia juga masih tergolong orang yang ramah. Apa
orang seperti abang ini bisa membentuku mendapat pekerjaan di Jakarta….selain
guru.
Kami pun lama berbincang. Ia
menceritakan tentang sampul abu-abu yang dimilikinya padaku. Istrinya yang
hanya wanita rumahan tapi dengan dua anaknya yang tetap sekolah. Abang itu
bernama Herman, Bunda. Ia menjadi tukang sapu di stasiun yang aku tak tahu
namanya ini.
” Sepertinya abang benar-benar
mengenal Jakarta dengan baik. Saya Hamdi
dari Surabaya,”
” Setiap hari ada banyak orang
seperti kau yang datang ke Jakarta lewat stasiun sini. Dan abang yakin banyak
orang yang sukses berawal dari stasiun ini. Semoga saja kau beruntung, Ham. Apalagi setelah
kuperhatikan kau ini orang yang pandai bicara. Kau pernah berkerja sebelumnya
?,”
Ia memanggil dirinya abang. Persis
seperti yang kuucapkan. Kelihatannya abang Herman ini tahu banyak hal yang bisa
membuatnya bertahan di Jakarta. Semua orang juga akan merasa nyaman berada di
samping orang yang bisa menghargai apa yang mereka pikirkan, meskipun terkadang
pemikiran yang aneh dan mengesalkan. Dan aku berpikir kalau abang Herman ini
sedikit kelihatan lebih muda dari usianya yang setelah kutanyakan padanya
adalah 30 tahun. Ia menyetujuinya.
” Dulu saya guru, bang. Tapi saya
rasa menjadi guru tidak bisa banyak membantu saya, makanya saya mencari
pekerjaan lain di Jakarta. Bukannya saya egois, bang, tapi hidup ini harus
memandang realita kan, bang ?,”
” Itulah kenapa, Ham, kadang abang tidak
ingin anak-anak abang meneruskan sekolah. Bukan soal biaya. Tapi kalau anak-anak
abang mendapat seorang guru seperti kau. Mereka lebih baik tidak semangat sejak
awal untuk sekolah daripada nantinya akan kecewa dan patah sekolah jika gurunya
tidak akan atau kalau sepertimu dikatakan tidak ingin lagi mengajar,”
” Maksud abang ?,” Aku sedikit
tersinggung. Guru seperti aku…?
” Kalau mereka sudah patah semangat,
mereka hanya akan banyak bermain-main. Karena mereka menganggap tidak ada lagi
yang memperhatikan. Setelah itu abang yakin kalau masa depan pendidikan bangsa
kita ini bersampul abu-abu,”
Ya, Tuhan, Bunda, abang Herman itu
juga tahu tentang sampul abu-abu yang selama ini hanya kuceritakan padamu. Dan
ia bicara tentang masa depan pendidikan.
” Tapi bang, bangsa kita masih punya
banyak guru, bukan ? Saya rasa abang terlalu melebih-lebihkan,”
” Bangsa kita juga punya banyak
tukang sapu. Bahkan apa yang bisa dibanggakan dari seorang tukang sapu. Tapi
abang mencoba bekerja dengan nurani karena hannya itu yang abang punya. Apa
jadinya kalau semua orang jadi pengusaha ? Bukankah akan banyak sampah yang
menumpuk? Abang hanya lulusan
SD, Ham. Tidak banyak yang
abang ketahui tentang dunia pendidikan. Tapi yang abang tahu seorang guru
sepertimu dikaruniai lebih banyak nurani ketimbang tukang sapu seperti abang,”
” Bang, bukankah manusiawi kalau
saya berusaha memperbaiki keadaan saya. Dulu saya senang menjadi guru tapi
realitanya kehidupan ini harus terus berjalan,”
” Abang tidak menyalahkanmu. Abang
tidak merasa telah lama mengenalmu lantas berhak menilaimu. Anggap saja abang
mewakili orang tua murid yang ada di Indonesia ini untuk memintamu terus
mengajar. Abang menganggapmu sebagai orang yang penting. Memang banyak guru, Ham, tapi masih banyak
lagi anak-anak yang punya semangat yang tak pernah tua untuk datang ke sekolah
sekedar mengetahui apa nama orang yang mengemudikan kereta api…dari gurunya.
Selagi kau masih hidup, Tuhan tidak akan lupa untuk memberi kita makan,”
” Kenapa abang peduli sekali dengan
saya ?,”
” Seperti yang abang bilang tadi.
Karena kau orang penting untuk bangsa kita. Kau tahu, sedikit untuk membuatmu
semangat kembali, orang yang ada di foto itu..,” Ia menunjuk foto Presiden
RI,”…Beliau juga bisa menjadi seperti ini karena jasa orang yang punya lebih
banyak nurani daripada tukang sapu, yakni guru. Ham, jangan berpikir tidak ada yang akan
kehilanganmu dengan keputusanmu itu,”
Lalu abang Herman itu pergi, Bunda.
Tanpa aku bisa mendengar suaraku sendiri untuk menanggapinya. Aku terdiam,
Bunda. Aku rasa sudah sedari tadi aku terdiam.
Persis diam yang kurasakan saat aku mencoba membuat murid-muridku tenang
agar pelajaran tak terganggu. Apa kabarnya mereka, Bunda ? Benarkah bagi mereka
aku adalah orang yang penting ?. Teramat penting ?.
Bunda, saat melihat kereta melintas,
aku merindukanmu. Saat melihat asap mengepul dari gerbong terdepan, aku
merindukan murid-muridku. Saat aku melihat jendela-jendela kereta dan para
penumpang membuat keramaian, aku merindukan lumpur yang menempel di sepatu bootku,
merindukan kali yang airnya kadang kugunakan untuk bercermin.
Bunda, tanpa aku sadari telah kubawa
serta semangat murid-muridku itu ke Jakarta. Dan aku harus mengembalikannya
kembali ke Surabaya. Dan saat inilah aku
tahu apa nama kereta yang kutumpangi, Bunda, sekedar menyenangkanmu kalau ada
kenang-kenangan yang kubawa dari Jakarta.
Sedikit banyak aku boleh menghibur
hatiku kan, Bunda, kalau aku juga orang
penting di dunia pendidikan. Tanpa ada guru maka tidak ada pendidikan yang
terlaksana dan karenanya Menteri Pendidikan kita tidak akan mendapat pekerjaan.
Karena itu akan membuatku lebih semangat. Kalau pun aku dianggap tidak penting
nantinya, aku akan tetap mengajar. Tidak akan membiarkan murid-muridku punya kesempatan
mencuri besi rel kereta.
Abu-abu juga warna kan, Bunda ?
Notes:
Runner Up in Short Story Competition (High School Level) se-eks Karisidenan Surakarta that was held by UNS in 2007 (Theme: Masa Depan Pendidikan Indonesia)